Rabu, 12 Januari 2011

Ayus Dan Gunung Sakerat

AYUS adalah lelaki berperawakan tinggi besar dan kekar. Memiliki kekuatan dan kesaktian yang luar biasa, walau kadang tindakannya bodoh.  Ia tak takut apa pun, kecuali jika ia salah. Untuk daerah Kaltim, nama Ayus mungkin tak asing lagi, khususnya di daerah Kutai, mulai dari pedalaman hingga pesisir pantai. Tanah kelahirannya masih simpang siur. Ada yang bilang Ayus dari Muara Pahu, dan ada pula dari  kampung di atas Long Iram. Walau kadang bertindak bodoh, Ayus memang pemberani. Buktinya? Ketika raja Muara Pahu -- Raden Baroh -- memintanya mengantarkan ayam jago pada Raja Kutai di Jaitan Layar (Kutai Lama), Ayus butuh waktu hanya sehari untuk kembali ke Muara Pahu. Ia  membawa bukti berupa cincin Raja Kutai yang berarti ayam telah diterima sang Raja. Padahal, jarak Muara Pahu -- Jaitan Layar sangat jauh. Kalau naik perahu atau sampan saja membutuhkan waktu berminggu-minggu baru sampai di Kutai Lama.
Itu baru berangkatnya saja, belum lagi kembalinya ke Muara Pahu. Apalagi, Ayus sendiri diketahui hanya berjalan kaki sehingga bisa dibayangkan berapa minggu baru  ia tiba.  Tapi, sekali lagi, Ayus memang memiliki kesaktian luar biasa, sehingga dalam tempo sehari saja tugas diselesaikannya.  Hingga saat ini belum diketahui dari mana ia memperoleh kesaktian yang sangat luar biasa itu.
 Walau begitu, ada juga kebiasaan buruknya. Jam tidur Ayus sangat panjang dan tak cukup satu hari. Makannya  pun tak cukup satu kawah besar. Jika ia merasa kelaparan dan  warga tak menyediakan hidangan untuknya, maka ia pergi ke dalam hutan. Ia cabut puluhan pohon BandingNibung di mana umbut atau akar  pohon itu dapat ia makan.   atau
Suatu hari Ayus membuat kesalahan. Walau kesalahannya dianggap sepele, tetap saja Raden Baroh marah besar. Tak heran kalau Raden pun berniat membunuh Ayus, tanpa peduli kesaktiannya. Ceritanya berawal ketika suatu hari Raden Baroh berniat membangun istana baru, mengganti istana yang ada dan sudah lapuk dimakan usia. Raden pun  berunding dengan para petinggi kerajaan, termasuk sesepuh masyarakat yang akhirnya  menyepakati dilakukan  gotong royong.
Hari baik pembangunan dan pemancangan tiang guru istana akan dilaksanakan seminggu lagi. Ayus yang hadir saat itu malah ikut menawarkan diri melakukan pemancangan tiang guru istana, tapi syaratnya ia harus melakukannya seorang diri. Permintaan Ayus pun   disepakati dengan syarat  waktu pemancangannya tak boleh lewat tengah hari.
Nah, ketika pemancangan tiba, Ayus ternyata masih tertidur pulas. Tidak ada seorang pun yang berani membangunkan. Waktu berlalu, matahari sudah tepat di atas kepala, Ayus belum juga tiba. Akhirnya, pemacangan tiang guru istana dilakukan.  Atas persetujuan Raden Baroh, tiang guru didirikan beramai-ramai disertai upacara adat yang berlaku. Empat puluh jenis bunga ditaburkan dan tiang guru diikat dengan kain kuning serta dihempas dengan mayang pinang berurai,  termasuk ditaburi beras dengan tujuh macam warna.
Tiang guru istana selesai didirikan, dan rakyat kerajaan Muara Pahu pun berpesta ria. Berbagai jenis makanan tersedia yang sebelumnya telah dimasak orang sekampung. Tari-tarian para bujang dan dara turut meramaikan suasana pesta,  menyambut berdirinya tiang guru atau tiang utama istana. Dan,  hari itu juga, semua anak bayi yang berumur satu bulan ke bawah dimandikan dengan air percikkan atau air tawar pendirian tiang guru. Maknanya,  orangtua menghendaki agar kelak anaknya menjadi pengabdi kerajaan yang setia. Dalam hukum adat kerajaan Muara Pahu, setiap pembangunan besar terlebih istana tempat tinggal para bangsawan dan raja, harus dilakukan upacara tepung tawar dan pesta meriah selama tujuh hari tujuh malam disertai memotong berbagai hewan ternak seperti ayam, itik, bebek, kambing, sapi hingga kerbau.  
Hari ketiga pasca pemancangan,  Ayus baru terbangun. Ia bergegas menuju tempat pembangunan istana dengan maksud mendirikan tiang guru sendirian.  Namun,  saat tiba di lokasi, ia melihat tiang guru telah berdiri tegak. Ayus kecewa bercampur sedih. Sambil duduk di bawah pohon Randu, Ayus terus berfikir dan bertanya-tanya kenapa orang kampung tak sabar menunggu dirinya, dan kenapa pula tidak membangunkan  tidurnya?
Di tengah lamunan itu, seorang petinggi kampung datang menghampiri dan berkata.  “Kesalahan ini datang dari dirimu sendiri. Saat pemancangan engkau tak kunjung tiba dan beberapa kali warga mencoba membangunkanmu, tapi kau tak kunjung bangun. Karena itu baginda  memerintahkan  agar tiang guru istana didirikan karena takut lewat pada waktunya. Jika  tidak, maka kita semua akan “tuhing” (sial) atau mendapat kesialan,” ujarnya.
Ayus hanya terdiam. Ia tetap duduk termenung memendam rasa kekecewaan dan kekesalan mendalam. Anggapannya, Raden Baroh yang salah karena tak menunggunya bangun dari tidur. Beberapa hari  Ayus duduk termenung di bawah pohon Randu, tak mau makan dan minum walau disediakan warga. Hatinya meradang dan merasa terhina karena tak dianggap sebagai abdi raja. Pikiran Ayus pun melayang sambil hati kecilnya  berkata :  “Jangankan memancang satu batang tiang guru, seratus tiang guru pun aku sanggup  memancangnya dalam satu hari saja.”
Merasa amat terhina,  Ayus berniat tak tinggal lagi di Muara Pahu. Kalau tidak, ia akan  jadi olok-olokan warga. Ayus merasa tak berguna lagi, terlebih orang di sekelilingnya sudah  tak peduli  padanya. Tekadnya bulat harus  pergi,  tapi harus meninggalkan kerajaan  dengan berbuat sesuatu yang  bisa  dikenang selamanya.
Apa yang dibuatnya agar warga Muara Pahu ingat selamanya? Berhari-hari ia berfikir, dan banyak ide ‘gila’ yang lahir seperti menguras sungai Mahakam yang tak mungkin dilakukan, atau menghancurkan bangunan pun  percuma karena bisa dibangun kembali. Lalu mencabut dan membawa lari tiang guru istana juga tak mungkin karena bisa diganti dengan baru. Kesimpulannya, Ayus  harus pergi juga dari Muara Pahu.
Kegalauannya terjawab ketika  Ayus sesekali melihat sekelompok anak-anak asyik bermain petak umpet di dekatnya. Di antara anak-anak yang asyik bermain terdapat putra  Raden Baroh. Ayus terdiam sesaat dan berfikir, akhirnya dalam hatinya berkata “Ini dia solusinya,”  pikir Ayus sambil berdiri dan mendekati anak sang raja. 
Ia melampiaskan perasaan marahnya dengan menangkap anak raja, dan membawanya   menuju bangunan istana. Lalu Ayus mencabut tiang guru istana dengan menggunakan sebelah tangan. Dan,  tanpa ampun lagi, anak Raden Baroh dilemparnya ke dalam bekas lubang tiang pancang yang ia cabut.  Setelah sang anak masuk lubang, ia tancapkan lagi tiang guru istana itu.  Darah anak sang raja menyembur deras akibat hentakan kayu ulin yang berukuran sangat besar. Anak raja pun  tewas.
Warga Muara Pahu yang masih asyik berpesta menjadi geger. Suasana sempat hening sesaat. Sebagian warga berbisik dan mengatakan si Ayus sudah gila dan kehilangan akal. Sesaat kemudian para prajurit kerajaan pun datang mau menangkap Ayus. Tapi, apalah artinya sepuluh prajurit dibanding kesaktian Ayus. Hanya sekali libas,  beberapa prajurit langsung terpental berserakan ke mana-mana.
Raden Baroh bergegas menuju bangunan istana baru. Raja menangis sejadi-jadinya sambil melihat jasad sang buah hati yang masih bersimbah darah tertancap tiang guru istana. Warga dari berbagai kampung pun berdatangan untuk menyampaikan rasa belasungkawa. Dan, mereka juga beramai-ramai mencari Ayus yang  sudah lari ketakutan menjauhi kerajaan.
Ayus meninggalkan Muara Pahu bukan  karena takut pada orang sekampung, tapi ia  menyadari perbuatannya telah membunuh anak rajanya sendiri. Ia takut Raden Baroh mengeluarkan sumpah untuk dirinya. Dan, agar tak mendengar sumpah Raja, ia melarikan diri, yang ternyata sesuai keinginnannya untuk pergi meninggalkan Muara Pahu.                        
Ayus terus berlari siang dan malam.  Menuju arah pantai dan bekas jejaknya pun dapat ditemukan hingga saat ini. Ayus berlari hingga ke kampung Bengalon dan ternyata ia tidak diterima oleh warga di sana. Warga Bengalon takut kalau kampung mereka diserang oleh prajurit Raden Baroh,  Muara Pahu.   
Ayus tambah sedih dan kembali berlari dan menuju arah Sangkulirang. Sebelum meninggalkan Bengalon, ia sempat mengambil sebuah Kijing -- sejenis tiram atau kima berkulit batu --  yang didapatnya pada sebuah sungai.  Kijing ukuran cukup besar yang hampir sama dengan gubuk atau pondok yang kerap dibangun di sawah atau ladang, dilemparkannya pada sebuah gunung  di pantai kampung Bengalon. 
 Kijing tersebut menancap pada sisi gunung bagian atas, sehingga gunung tersebut bagai terkerat atau terpotong dan hampir terpisah antara puncak dan bawahnya. Kulit kijing itu berwarna putih mengkilap  dan memantulkan cahaya keputih-putihan akibat terkena sinar matahari. Akhirnya gunung tersebut menjadi pedoman berbagai kapal layar menuju daerah Sangkulirang atau Bengalon.  Ayus  tak pernah terdengar kabarnya sampai sekarang, entah mati atau hidup. Namun, ada isu yang mengatakan bahwa Ayus bersembunyi di daerah sepanjang gunung Meratus. Dan, gunung dengan kulit Kijing  menancap tersebut saat ini dikenal dengan sebutan “Gunung Sakerat”. Begitulah ceritanya.

Tumbal Bengalon

Di Kutai Timur terdapat sebuah gua yang melimpah dengan sarang wallet. Gua ini tepat berada di Gunung Sakerat dan dinamai Lubang Tiga. Untuk menemukan dan memetik sarang itu wajib menyediakan tumbal. Kalau tidak, salah satu anggota keluarga yang bersangkutan akan dijadikan tumbal atau lebih dikenal sebagai ‘Tumbal Bengalon’.
YANG namanya hutan – apalagi disebut rimba belantara – tentu banyak yang berasumsi kalau di sana tak ada penghuninya. Paling tidak, keberadaannya hanyalah tempat orang-orang hutan atau manusia liar. Kenyataannya memang demikian. Yang disebut hutan dan rimba itu jelas tak berpenghuni atau bukan tempat tinggal manusia. Sebagaimana wilayah Kalimantan Timur yang masih begitu luas, walau telah terjadi pembabatan hutan oleh perusahaan-perusahaan kayu. Ya, hingga kini yang namanya hutan itu masih ada dan banyak bisa dijumpai di berbagai daerah Kaltim.
Hutan di Kaltim hingga sekarang masih banyak menyimpan kekayaan alam baik berupa tambang maupun hasil hutan ikutan. Sebut saja rotan, damar, kayu gaharu dan lain-lain, termasuk sarang burung wallet. Yang disebut terakhir ini, sekarang jadi buruan banyak pengusaha karena harganya sangat menggiurkan.
Memang, kini di perkotaan  banyak yang dapat memelihara burung wallet dengan membangun tempat burung burung tersebut bersarang.  Walau demikian, ternyata sarang burung wallet secara alami kualitasnya jauh lebih baik ketimbang sarang yang dihasilkan oleh sarang buatan manusia di perkotaan.
Dari segi kwantitas pun, sarang burung wallet alami jauh lebih besar. Karenanya, cukup banyak pemburu sarang wallet di berbagai tempat. Mereka merambah segala penjuru hutan demi mencari burung ini bersarang. Tak jarang satu goa wallet bisa menimbulkan keributan dan pertikaian antara sesama pencari.
Adalah suatu daerah yang disebut Bengalon. Keberadaannya persis di wilayah Kabupaten Kutai Timur yang beribukota di Sangata. Di daerah Bengalon banyak terdapat lubang atau sarang wallet alami. Namun sarang di daerah ini sebagian sudah ada yang memiliki. Untuk menandai pemiliknya, setiap sarang diberi nama bermacam-macam. Dan, setiap lubang dijaga oleh pemilik untuk mengantisipasi penjarahan para pencuri yang setiap waktu mencari kesempatan.
Kendati demikian, ternyata masih banyak lubang-lubang sarang lainnya yang belum ditemukan masyarakat. Karenanya, mereka terus berusaha melakukan pencarian kemana-mana.
“Sebenarnya ada satu gunung yang memiliki tiga lubang sarang yang saling bertembusan satu sama lainnya. Disini, sarang burungnya sangat banyak. Diperkirakan, dalam sekali petik hasilnya tidak kurang dari ratusan kilo,“ begitu kisah Pak Boyon, seorang penduduk Bengalon, beberapa waktu lalu.
“Hingga kini lubang tersebut tak ada yang menemukannya. Saya saja ketika menemukan lubang sarang tersebut berselang sudah sekitar duapuluh tahun yang lalu,” lanjut Pak Boyon yang kini sudah berusia tujuh puluh tahunan.
Pak Boyon adalah seorang yang ahli dalam mencari lokasi tempat burung wallet bersarang. Karena keahliannya itu pula, dia selalu diminta pemilik sarang wallet lainnya untuk ‘menyawai’ (membaca mantera) pada setiap lubang agar burung-burung tersebut tak berpindah tempat.
Memang, burung-burung wallet ini sangat peka. Mereka, jika terusik atau merasa diganggu, secara tiba-tiba akan menghilang dan berpindah tempat. Nah, agar tak berpindah tempat maka lubang sarang itu diberi mantera menurut kepercayaan dengan disertai pula sesaji yang ditujukan pada para penunggu lubang sarang itu.
Dikatakan Pak Boyon, para penunggu lubang sarang itu terdiri dari orang-orang gaib atau Jin. Karenanya jika tak ‘permisi’ konon burung-burung tersebut bakal dipindahkan oleh para penunggu lubang. Bisa juga para pencari akan disakiti dan diganggu. Bahkan, kabarnya ada yang bisa jadi gila.
Untuk itulah dilakukan  pemberian sesaji sebagai syarat meminta agar burung-burung itu tidak menghilang, serta para pencari lubang tidak disakiti oleh yang disebut sebagai penunggu. Memang sangat menggiurkan, satu kilo sarang putih sekarang bisa berharga sampai duabelas juta rupiah. Sedang sarang hitam serendahnya berharga delapan juta rupiah per kilogram.
Dari penuturan Pak Boyon, Lubang Tiga Sarang Burung itu terletak di pertengahan Gunung Sakerat. Muara salah satu lubang itu terdapat di pinggiran jalan setapak yang menuju puncak Gunung Sakerat. Gunung ini cukup terkenal karena selalu jadi pedoman para pelaut yang mau masuk ke Bontang atau ke Sangkulirang. “Gunung Sakerat merupakan salah satu gunung tertinggi yang kaki pada bagian selatannya mengarah ke pantai laut,” kata Pak Boyon.
Kenapa gunung ini sering dijadikan pedoman oleh para pelaut?
Masih menurut Pak Boyon, di atas puncak gunung itu  terdapat Kulit Kima yang berkilau kalau terpantul matahari ataupun cahaya bulan pada malam harinya. Konon kabarnya keberadaan kulit kima itu adalah perbuatan si Ayus yang melemparkan kima ke atas gunung tersebut. Dipercayai bahwa kima yang dilempar itu kian lama kian membesar sehingga gunung tersebut pada bagian puncaknya bagai terkerat. Karena itu pulalah gunung tersebut dinamai Gunung Sakerat.
Ayus sendiri adalah seorang pelarian bertubuh tinggi besar, berwatak berangasan dan sedikit kurang waras. Tadinya si Ayus ini adalah rakyat dari Kerajaan Muara Pahu yang dipimpin Raja Raden Baroh. Namun karena bersalah telah membunuh anak kesayangan Raden Baroh, maka Ayus menjadi takut dan lari hingga ke pantai.
Karena merasa bersalah, dia jadi kesal atas perbuatannya sendiri. Kekesalan itupun dilampiaskannya dengan mengambil kima besar di pantai dan melemparkannya ke arah gunung hinga menancap di sekitar puncak gunung tersebut.
Ketika Perang Dunia ke II meletus, puncak Gunung Sakerat tersebut dijadikan oleh tentara sekutu sebagai suatu tempat pertahanan udara serta lokasi pengintaian terhadap kapal-kapal perang tentara Jepang. Hingga kini di puncak gunung tersebut – menurut cerita – masih tertinggal beberapa benda milik sekutu dalam bentuk sebuah goa buatan, dua buah meriam, sebuah Jeep Willys dan sebuah jam besar. Yang aneh barang-barang tersebut dengan cara apa bisa berada di puncak gunung itu. Namun banyak perkiraan pada waktu itu mungkin ada badan jalan yang diolah sehingga kendaraan logistik dapat mencapai lokasi pertahanan tersebut.
Kemungkinan ada jalan tersebut bisa saja terjadi pada waktu itu. Namun karena sudah puluhan tahun tak lagi dipergunakan, maka jalan tersebut kembali tertutupi semak belukar sehingga yang tersisa hanya jalan setapak.
Yang agak aneh, dari beberapa orang yang naik ke puncak gunung ini dengan niat menemukan barang-barang peninggalan Sekutu itu, tak pernah berhasil memuaskan keinginannya. Namun, bagi mereka yang tak bermasud mencarinya, malah menemukan lokasi pertahanan itu lengkap dengan barang-barang yang ada. Bahkan, ada yang mengaku pernah menemukan kotak besar yang berisi peluru meriam.
“Itu sama halnya dengan Lubang Tiga Sarang Burung yang ada disana. Kalau dicari bagaimanapun tak ada yang pernah menemukannya. Saya sendiri pernah bersama beberapa orang mencoba mendatangi tempat tersebut, namun juga tak berhasil. Tetapi jika saya sendirian ke sana, dengan mudah saya bertemu Lubang Tiga tersebut. Saya memasuki lubang tersebut hingga tembus ke muara dua lubang lainnya. Namun saya sekeping pun tak berani menyentuh sarang yang benar-benar banyak itu. Hal ini karena saya diberi mimpi untuk tidak menyentuh sarang burung di sana walau selembarpun kalau tak ingin celaka,” kisah Pak Boyon.
Masih menurut Pak Boyon, Lubang Tiga yang ada di sana bisa saja didapat atau diambil sarangnya tetapi dengan satu syarat. Sarang-sarang yang diambil wajib diganti rugi dengan tumbal di kampung Bengalon. Tumbal itu antara lain, menanam tiga kepala kambing putih (Kepala Manusia Bule) dan lima ekor kerbau hutan (Liar).
“Jika tidak dilakukan, jangan pernah berharap lubang tersebut bisa ditemukan dan diambil isinya. Kalau pun ada yang berhasil menemukan dan mengambil isinya, maka dikatakan isi boleh diambil tetapi jiwa salah satu anggota keluarga si penemu menjadi penggantinya. Roh orang yang diambil itu kemudian akan dijadikan penunggu atau penjaga kampung Bengalan atau dengan sebutan lain sebagai ‘Tumbal Bengalon’.

Misteri Gunung Meratus

Di Kalimantan ada gunung panjang yang membentang dari arah barat hingga ke bagian timur pulau ini. Gunungnya memang tak terlalu tinggi, namun dapat kita bayangkan luas dan panjangnya karena membentang melalui tiga Provinsi yaitu Kalimantan Selatan dan Tengah serta Timur. Gunung yang tumbuh berjajar di sepanjang jalur ini disebut sebagai Gunung Meratus.

TAK ada gambaran jelas yang pasti tentang berapa panjang dan banyaknya gunung tersebut. Adapun yang digambarkan sementara ini sebagian besar diperkirakan hanyalah reka-reka yang tak pasti – baik soal jumlah gunung maupun ukuran panjangnya. Buku “Di Pedalaman Borneo“ yang ditulis oleh A.W. Nieuwenhuis pada tahun 1894 pun bahkan tidak menyebutkan hal itu.
Diketahui, A.W. Nieuwenhuis warga Belanda seorang dokter yang juga sebagai ahli etnografi dan antropologi, didukung oleh Maatschappij ter Bevondering Van Het Natuurkundig Onderzoek der Nederlandsche Kolonien (Perhimpunan untuk memajukan penelitian di daerah daerah koloni Belanda) – membentuk tiga tim yang terdiri dari para ahli ilmu pemetaan, penggalian suber alam, penelitian tentang penduduk pedalaman, serta flora dan fauna. Tim ini melakukan perjalanan dari Kalimantan Barat dengan menyusuri Sungai Kapuas hingga ke kepala Sungai Mahakam dan berakhir sampai ke Samarinda Kalimantan Timur. Ekpedisi ini pun tak ada penjelasan tentang luas dan panjangnya Gunung Meratus. Padahal mereka sudah memulai perjalanan dari Sungai Kapuas Pontianak Kalimantan Barat.
Perjalanan tersebut, selain didukung oleh oleh Maatschappij ter Bevodering van het Natuurkundig Onderzoe der Nederlansche Kolonien, juga diback-up oleh Residen Water Afdeeling van Borneo yang berkedudukan di Pontianak Kalimantan Barat. Hal ini didorong oleh banyaknya minat negara lain yang mengirim utusan ke pulau Borneo untuk melakukan penelitian sekaligus berusaha melakukan pendudukan. Seperti halnya pada abad ke 18, ketika Inggris dan Belanda melakukan kekerasan dan intimidasi pada penduduk di kepulauan Borneo. Diantaranya, petualangan Alexander Hare di Banjarmasin pada tahun 1812,  James Brooke dan Robert Burns tahun 1848 di Sarawak yang berupaya mendirikan kerajaan bagi dirinya sendiri, James Erskine Murray si orang Inggris memasuki Kutai pada tahun 1844 yang berujung tewas karena berperang dengan laskar Kerajaan Kutai, Selanjutnya Muller 1825 dan Dalton 1828 yang menjelajahi Borneo atas nama Negara Belanda.
Adalah seorang perwira Zei dari tentara Napoleon I, bernama George Muller, masuk dalam Pamongpraja Hindia Belanda. Muller mendapat tugas melakukan hubungan dengan pihak Sultan Sultan di pesisir Borneo pada tahun 1825. Muller berangkat bersama pasukan yang terdiri dari orang-orang Jawa. Misi utamanya, jika Sultan Sultan yang didatanginya tidak sejalan, maka kasultanan ini akan diperangi dan dihancurkannya hingga dapat diduduki.
Namun, Kerajaan Kutai tak membiarkan keadaan yang mengancam itu. Akibatnya, terjadilah pertempuran sehingga pasukan George Muller hancur tercerai-berai dan berlarian memasuki hutan. Tercatat, serdadu Jawa yang selamat mencapat bagian barat Borneo hanyalah tinggal satu orang, sedang nasip Muller sendiri dan sisa pasukan belum diketahui.
Ada kabar, George Muller bersama pengikutnya terbunuh di daerah Kapuas Hulu sekitar Nopember 1825, tepatnya di sungai Bungan. Tapi, cerita tersebut hanya perkiraan yang tak jelas kebenarannya. Yang pasti, Muller hingga kini tak pernah ditemukan.
Ada pula cerita lain tentang pelarian Muller yang dikejar laskar Kesultanan Kutai. Dikatakan, karena kalah Muller berlari hingga ke Gunung Meratus dan menghilang di sana. Katanya Muller dilindungi oleh pasukan kerajaan orang gaib yang berada di pegunungan Meratus tersebut.
Cerita tentang Gunung Meratus juga diungkapkan oleh penduduk tua Suku Bukit Kalimantan Selatan Bernama Amung Tahe. Pria yang telah tinggal turun-menurun di dusun Rangit - kaki gunung Meratus menceritakan pengalaman hidupnya, ketika bertualang menjelajahi Gunung Meratus. Dusun Rangit sendiri adalah sebuah dusun yang bisa ditempuh dari daerah pedalaman Kabupaten Paser. Namun tidak diketahui pasti, dusun ini termasuk di dalam kecamatan atau kabupaten mana. Tetapi didalam peta wilayahnya termasuk kawasan  Provinsi Kalimantan Selatan.
Bagi masarakat Suku Bukit sendiri, mereka tak mengerti tentang dusun tempat tinggalnya apakah termasuk di daerah Kalsel, Kaltim  atau pula Kalteng. Bagi mereka hal itu bukanlah persoalan. Yang jelas mereka bisa saja ada di mana-mana. Bagi mereka, hutan adalah rumah dan kehidupan mereka.
Secara umum, masyarakat suku Bukit berdiam di belantara seputar kedua sisi Gunung Meratus. Dikatakan Amung Tahe, gunung di sana memang berjumlah seratus gunung. Namun yang dapat dihitung gunungnya hanya ada sembilan puluh sembilan buah. Lalu yang satu gunung itu merupakan induk dan puncak tertinggi yang jarang dapat dilihat secara kasat mata.
Dari kaki gunung menuju ke puncak itu bertingkat tujuhbelas naik dan tujuhbelas turun. Menurut penuturan Amung Tahe, di puncak tertinggi itu adalah merupakan suatu tempat kediaman Maharaja Meratus yang tak bisa dilihat atau gaib. Terkecuali jika dikehendaki oleh sang Maharaja.
Konon, di atas puncak gunung tersebut merupakan dataran yang cukup luas. Di dataran ini ada sebuah bangunan istana tempat sang Maharaja bersemayam. Kerajaan gaib di Gunung Meratus ini tidak hanya sendiri, tetapi ada  lagi kerajaan-kerajaan kecil diseputarnya, yang juga disebut kerajaan orang-orang gaib (bunian).
Di kawasan pegunungan ini sangat kaya dengan hasil hutan dan alam. Pernah ada seseorang, ketika berjalan di anak sungai yang terdapat di sana menemukan batu berlian dan bongkahan-bongkahan emas pada dinding kerang batu di pinggiran sungai.
Orang-orang gaib dari pegunungan Meratus sering turun ke berbagai kota, baik di Kalsel, Kalteng maupun Kaltim. Kebanyakan mereka menyaru seperti orang-orang suku Bukit berdagang kayu gaharu yang berkwalitas tinggi serta membawa bongkahan-bongkahan batu kecubung dan yakut yang masih mentah. Barang barang ini mereka jual atau barter dengan tembakau, garam, minyak wangi-wangian, bahkan butir-butiran manik dan mutiara.
Amung Tahe juga bercerita, kalau almarhum bapaknya yang sering bertualang memasuki daerah gunung Meratus, mengaku pernah bertemu dengan orang tinggi besar berambut coklat kemerahan dengan pakaian seperti orang barat (Belanda tempo doeloe_Red) dikawal oleh beberapa orang berseragam. Tetapi ketika diikuti orang-orang tersebut tiba-tiba menghilang tak diketahui ke mana.
Menurut cerita masyarakat yang tinggal di daerah sepanjang Meratus ini mereka juga sering melihat orang Belanda dengan berpakaian tempo doeloe berjalan disertai beberapa orang berseragam lengkap dengan bedil dan pedang. Namun apabila dikejar, maka apa yang mereka lihat itu menghilang begitu saja.
Konon, dari wajah dan pakaian serta tanda-tanda yang terdapat pada si orang Belanda ini cirri-cirinya sama dengan Kapten George Muller yang hilang tak tentu rimbanya itu. Kalau benar, yang dilihat itu adalah George Muller, tentunya sudah menjadi orang gaib. Ada juga yang mengatakan kalau rohnya masih penasaran dan bergentayangan di sepanjang gunung Meratus karena tewas dibunuh. Bisa juga ia tewas karena dibantai oleh masyarakat liar di pedalaman yang saat itu masih primitif.
Namun yang jelas, apa yang terjadi di sepanjang Gunung Meratus, hingga kini masih penuh dengan misteri.

Puan Si Taddung

Lantaran tak mendengar peringatan sang istri, Puan Si Taddung terpaksa kehilangan orang yang dia cintai selama-lamanya.
PADA zaman dahulu kala, di Kampung Tanjung Batu, Tanah Berau, hiduplah seorang pemuda bujangan bernama Puan Si Taddung. Dalam kesehariannya si Puan adalah seorang pemburu. Tetapi walau demikian Puan Si Taddung ini adalah seorang pemuda cerdas dan pintar.
Badannya tinggi dan tegap. Dia dikenal sebagai seorang pemuda pemberani yang memiliki kepandaian bersilat atau ilmu bela diri. Konon, ia pernah mengalahkan sepuluh orang lanun dari laut yang mencoba merampok di perkampungan Tanjung Batu. Selain ada yang tewas, sisanya lari terbirit birit  pergi ke laut. Karena itulah Puan Si Taddung jadi disegani oleh kawan-kawannya.
Suatu hari dia bersama beberapa kawannya pergi berburu memasuki hutan. Biasanya jika dia berhasil, hasil buruannya selalu dibagi-bagikan pada orang sekampung. Kebiasaannya ini membuat warga kampung bertambah suka kepadanya.
Suatu ketika, Taddung dan kawan-kawannya sedang berburu. Sudah beberapa hari mereka berada di dalam hutan, namun keberuntungan kali ini tak berpihak kepadanya. Tak satupun binatang buruan dapat tertangkap oleh mereka. Terpaksalah mereka pulang dengan tangan hampa.
Setelah melakukan persiapan, kembali Puan dan kawan kawannya pergi memasuki hutan untuk berburu. Namun keberangkatan yang sekali ini mencapai sepuluh hari tidak juga dapat menghasilkan barang buruan. “Apakah binatang buruan di hutan ini sudah habis?“ celetuk salah seorang dari mereka. “Tidak mungkin, ini mungkin kita saja yang lagi sial.”  sahut kawannya yang lain. Alhasil perbekalan habis lagi merekapun terpaksa pulang tampa membawa hasil.
Malam harinya Puan Si Tadung duduk di depan pondoknya. Sedang asik melamun, tiba tiba di dekat pondoknya telah ada seseorang tua yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Puan lalu bertanya, “Hendak kemanakah bapak malam-malam begini?“
Orangtua itu lantas tersenyum dan berucap, “Tidak kemana-mana, aku hanya kebetulan lewat. Tetapi aku bolehkah meminta sirihmu? Aku ingin makan sirih.”
Puan lalu memberikan sirihnya sambil mempersilahkan si orangtua naik ke pondoknya. Setelah naik si orangtua dengan senang hati lalu memakan sirih yang disuguhkan kepadanya.
“Begini anak muda, jika engkau hendak berburu janganlah berangkat sore. Tetapi besok pagi-pagi sekali kamu pergi sendirian saja. Ambillah ke arah barat. Percayalah engkau pasti akan mendapatkan buruan yang akan membuat kamu bahagia,“ kata si orangtua tersebut.
Maka pagi-pagi sekali, ketika matahari baru mulai terbit di ufuk timur, Puan Si Taddung berangkat meninggalkan pondoknya seorang diri. Dia pergi menuju arah barat sebagaimana petunjuk orangtua misterus yang singgah di pondoknya. Dia terus berjalan dengan pandangan liar seorang pemburu. Namun sampai lewat tengah hari dia tak juga menemukan seekor rusa sekalipun. Bahkan, hari telah kian bejalan dan mulai memasuki sore.
Akibat kelelahan dan tak habis fikir, Puan lalu duduk di atas sebuah batu sambil merenung. “Wah, kalau tak berhasil lagi, aku akan jadi sangat malu dengan kawan-kawan yang sudah kusuruh menungguku,” gumamnya.
Ketika sedang termenung, lamat-lamat Puan mendengar suara wanita sedang tertawa-tawa dan bersenda-gurau. Dia lantas mencari arah suara tersebut. Dari arah barat terlihatlah olehnya pelangi yang indah menurun ke arah suatu tempat. Diam-diam, Puan pun mendekati arah pelangi dimana ada suara orang bersenda-gurau.
Ternyata setelah diperhatikannya melalui balik rumpun, terlihatlah tujuh orang wanita asyik bermain dan mandi di sebuah kolam yang berair jernih. Dari pembicaraan mereka, tahulah Puan Si Taddung kalau wanita-wanita itu adalah bidadari yang turun dari khayangan.
Diam-diam dia terus mendekati dan memperhatikan ke tujuh wanita tersebut. Akhirnya, Puan Si Taddung mengambil salah satu selendang yang tertumpuk di atas sebuah batu dan menyimpannya.
Ketika hari mulai senja, para bidadari ini bersiap hendak pulang. Tapi satu di antara ke tujuh bidadari tersebut jadi kebingungan karena selendangnya telah hilang. Sedang yang lain terpaksa pulang meninggalkannya karena hari sudah mulai petang. Mereka meminta agar bidadari yang tertinggal menunggu mereka sampai besok hari. Nanti mereka akan membawakan selendang agar si bidadari tersebut bisa pulang bersama mereka.
Bidadari yang tertinggal amatlah merasa takut karena ditinggal seorang diri. Saat itulah kesempatan Puan Si Taddung muncul. Ia mendekati sang bidadari yang tambah ketakutan melihat manusia menghampirinya.
“Janganlah engkau merasa takut wahai wanita peri. Aku tidak akan menyakitimu. Bahkan aku akan melindungi kamu dari berbagai bahaya yang mengancam keselamatanmu,“ ujar Puan Si Taddung meyakinkan si wanita tersebut. Setelah menghantui dengan berbagai cerita yang mengerikan Puan lalu membujuk agar si wanita mau ikut bersamanya ke kampung. Karena takut, akhirnya si bidadari yang mengaku bernama Putri Bungsu itu pun menuruti ajakan Puan Si Taddung.
Setelah sampai di kampung ramailah orang dan teman temannya menyambut kepulangan Si Puan. Mereka amat takjup akan kecantikan wanita bidadari ini. Oleh Puan, si wanita lalu dibawa pulang ke rumah dan setelah sebulan kemudian keduanya lalu dikawinkan oleh Petinggi Kampung Tanjung Batu. Hiduplah keduanya dalam kenikmatan dan kebahagiaan hingga mendapatkan seorang anak laki-laki hasil dari buah perkawinan mereka.
Pada suatu ketika, Puan Si Taddung dipanggil petinggi untuk menghadap di rumah laminnya. Di sini, ketika Puan Si Taddung datang telah berkumpul beberapa Petinggi dari pulau Derwan, Sangalaki, Pulau Panjang dan para petinggi dari pulau-pulau lainnya. Para petinggi ini menyampaikan kalau di daerah mereka saat itu sudah tidak lagi aman. Hal ini karena mereka selalu mendapat serangan dari bajak laut yang berkeliaran. Perampokan pada pulau-pulau hampir terjadi setiap minggu. Ini yang membuat mereka resah dan mencari cara untuk menghadapi para lanun tersebut.
Oleh kesepakatan dan pendapat dari Puan Si Taddung, akhirnya terbentuklah pasukan keamanan untuk mengamankan seluruh pulau dan daerah mereka. Pada setiap pulau diambil sepuluh orang pemuda gagah dan berani menjadi prajurit keamanan. Pada setiap hari pasukan tersebut selalu melakukan patroli di pulau-pulau tersebut.
Sedang pusat komando keamanan terletak di Kampung Tanjung Batu. Akhirnya dengan ketatnya pengawasan keamanan dan berkat keberanian para pemuda yang dipimpin oleh Puan Si Taddung, wilayah mereka pun menjadi aman dan tak lagi mendapat gangguan dari manapun. Dan, setelah keamanan benar-benar sudah terkuasai, maka para Petinggi ini bersepakat untuk menyelenggarakan selamatan dan tulak bala sekampung yang dipusatkan di Tanjung Batu.
Dalam kesempatan itu, baik petinggi petinggi pulau maupun petinggi Tanjung Batu sendiri, meminta agar pada upacara puncak selamatan dan pesta kampung isteri Puan Si Taddung yang katanya bidadari itu mau menarikan tarian bidadari. Hal tersebut disetujui oleh Puan Si Taddung tanpa terlebih dahulu meminta pendapat sang istri.
Begitu pulang, Puan lalu menceritakan semua rencana, termasuk tarian penutup pesta oleh istrinya. Sang istri sangat terkejut mendengar hal tersebut. “Kenapa kanda tidak memberitahukan hal tersebut kepadaku terlebih dahulu? Tarian itu adalah tarian yang tak sembarang boleh ditarikan. Tuhing bila itu dilakukan,” kata isterinya. Ia lantas memohon, agar rencana tersebut jangan sampai dilakukan.
Namun, Puan Si Taddung tak mau malu. Ia terus saja mendesak sang istri untuk melakukan tarian itu dengan alasan sudah terlanjur menyanggupinya permintaan para petinggi.
Sang istri akhirnya putus asa. Bidadari itu lantas bertanya, ”Apakah kanda tidak akan menyesal jika itu kulakukan?
“Apa yang harus disesalkan? Bukankah itu hanyalah sebuah tarian?” sahut Si Taddung   seolah tak mengerti.
”Tapi kanda, itu benar-benar tuhing (terlarang_red) untuk kulakukan. Ingatlah kanda, jangan karena tuhing itu kita langgar, akibatnya akan menyengsarakan kita,” ujar sang istri seolah memberi peringatan.
Sayang, Puan tak mau mengerti. Bahkan dengan nada kesal ia memaksa sang istri untuk melaksanakan permintaan tersebut. “Pokoknya adinda harus menari. Aku juga ingin melihatnya. Apaun resikonya, aku akan menanggung dan tidak akan menyesal,” pungkas si Puan sambil melangkah keluar rumah meninggalkan istirinya. Isterinya hanya terdiam melihat sang suami menjadi kesal.
Akhirnya, tibalah hari yang dinanti-nanti. Kampung menjadi ramai selama tujuh hari tujuh malam. Tepat pada hari ke tujuh, saat hampir memasuki tengah malam, acara penutup pun digelar. Masyarakat bergerombol ingin menyaksikan tarian bidadari yang yang belum pernah mereka lihat.
Setelah memakai serlendang yang selama ini disimpan oleh suaminya, Putri Bungsu mulai memasuki arena tarian. Dia lantas menunduk dan mengangkat sembah. Tiba-tiba entah dari mana, terdengar suara musik kelintangan (gamelan) yang kian lama kian terdengar nyaring. Putri Bungsu pun mulai menari.
Semua penonton amat terpesona melihat tarian tersebut. Terlebih Putri bungsu menari tidak hanya sendiri, tetapi didampingi oleh para penari yang entah dari mana pula datangnya. Kian lama tarian kian asik dan berputar-putar. Tak terasa si Putri Bungsu telah melayang layang bersama enam penari lainnya. Setelah cukup tinggi. Tiba-tiba musik berhenti dan si Bungsu masih terlihat melayang di udara.
Tiba-tiba, si Putri Bungsu berucap, “Suamiku, sesungguhnya aku amat mencintaimu. Apalagi kita juga sudah mempunyai anak. Tetapi karena tuhing yang kukatakan itu telah dilanggar, serta kanda menyatakan tidak akan menyesal, maka inilah akibatnya. Kita harus berpisah. Enam penari yang ada ini adalah saudara-saudaraku yang datang menjemput untuk membawaku pulang ke khayangan. Karena itu janganlah kanda sesali apa yang akan terjadi. Dinda hanya memohon agar jika anak kita hendak meminta susu, maka ambilkanlah air buah bunyut yang banyak terdapat di sekitar rumah kita. Berilah dia air bunyut tersebut sebagai pengganti susuku. Nah, selamat tinggallah kakanda, jagalah anak kita baik-baik.“
Setelah itu kembali terdengar suara musik. Para bidadari pun semangkin lama terbang makin tinggi hingga hilang dari pandangan mata. Seiring itu, tak lagi terdengar suara musik.
Puan Si Taddung menjadi gugup dan kaget. Dia tak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa memanggil-manggil nama siterinya yang sudah lenyap. Puan lalu menangis sejadi-jadinya. Tetapi apapun yang diperbuatnya sudah tak berarti. Yang tinggal hanyalah penyesalan atas  semua kesalahan yang telah dilakukannya

Kadrie Oening

Semangat dan kettegarannya telah menghantarkan Kota Samarinda menjadi sebuah daerah maju. Kadrie Oening memang patut menjadi teladan bagi para penyelenggara pemerintahan.

SEKITAR tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Poea Adi bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah (sekarang Samarinda Seberang_Red). Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Pilipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka.
Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai  Banjar dan suku lainnya.
Sedang Poea Adi diberi gelar Panglima Sepangan Pantai. Ia bertanggungjawab terhadap keamanan rakyat dan kampung-kampung sekitar sampai ke bagian muara Badak, Muara Pantuan dan sekitarnya.
Keputusan sidang kerajaan membuka Desa Sama Rendah memang jitu. Sejak saat itu, keamanan di sepanjang pantai dan jalur Mahakam menjadi kondusif. Tidak ada lagi bajak laut yang berani beraksi.
Dengan demikian, kapal-kapal dagang yang berlayar, baik dari Jawa maupun daerah lainnya bisa dengan aman memasuki Mahakam. Termasuk kapal-kapal pedagang Belanda dan Inggris. Mereka berlayar hingga ke pusat Kerajaan, di Tepian Pandan Tenggarong. Dengan demikian roda pemerintahan berjalan dengan baik serta kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat.
Sejarah terbukanya sebuah kampung yang menjadi kota besar, dikutip dari buku berbahasa Belanda dengan judul “Geschiedenis van Indonesie“ karangan de Graaf. Buku yang diterbitkan NV.Uitg.W.V.Hoeve, Den Haag, tahun 1949 ini juga menceritakan keberadaan Kota Samarinda yang diawali pembukaan perkampungan di Samarinda Seberang  yang dipimpin oleh Poea Adi.
Belanda yang mengikat perjanjian dengan kesultanan Kutai kian lama kian bertumbuh. Bahkan, secara perlahan Belanda menguasai perekonomian di daerah ini. Untuk  mengembangkan kegiatan perdagangannya, maka Belanda membuka perkampungan di Samarinda Seberang pada tahun  1730 atau 62 tahun setelah Poea Adi membangun Samarinda Seberang. Di situlah Belanda memusatkan perdagangannya.
Namun demikian, pembangunan Samarinda Seberang oleh Belanda juga atas ijin dari Sultan Kutai, mengingat kepentingan ekonomi dan pertahanan masyarakat di daerah tersebut. Apalagi, Belanda pada waktu itu juga menempatkan pasukan perangnya di daerah ini sehingga sangat menjamin keamanan bagi Kerajaan Kutai.
Samarinda berkembang terus dengan bertambahnya penduduk yang datang dari Jawa dan Sulawesi dalam kurun waku ratusan tahun. Bahkan sampai pada puncak kemerdekaan tahun 1945 hingga keruntuhan Orde Lama yang digantikan oleh Orde Baru, Samarinda terus ’disatroni’ pendatang dari luar Kaltim.
Waktu itu Tahun 1966 adalah peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru. Keadaan semuanya masih acak dan semberawut. Masalah keamanan rakyat  memang  terjamin dengan terbentuknya Hansip (Pertahanan Sipil) yang menggantikan OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat). Hansip mendukung keberadaan Polisi dan TNI.
Kendati terbilang maju pada zamannya, perubahan signifikan Kota Samarinda dimulai ketika Walikota Kadrie Oening diangkat dan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Surat Keputusan No.Pemda 7/ 67/14-239 tanggal 8 November 1967. Ia menggantikan Mayor Ngoedio yang kemudian bertugas sebagai pejabat tinggi pemerintahan Jawa Timur di Surabaya.
Kotamadya Samarinda pada tahun 1950 terbagi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda Ilir dan Samarinda Seberang. Luas wilayahnya saat itu hanya 167 km persegi. Kemudian pada tahun  1960 wilayah Samarinda diperluas menjadi 2.727 km meliputi daerah Kecamatan Palaran, Sanga Sanga, Muara Jawa dan Samboja. Namun belakangan, kembali terjadi perubahan. Kota Samarinda hanya tinggal Kecamatan Palaran, Samarinda Seberang, Samarinda, Ilir, Samarinda Ulu dan Samarinda Utara.
Sebelum dilantik sebagai Walikota, Kadrie Oening adalah salah seorang Wedana yang diperbantukan di Kotamadya Balikpapan. Ia juga pernah menjadi Camat Sangkulirang pada masa Orde Lama. Dalam pergerakan politik menjelang kemerdekaan, Kadrie Oening tidak banyak disebut. Tetapi bukan berarti dia tidak turut ambil bagian dalam sejarah perjuangan.
Kadrie Oening tercatat sebagai walikota sipil pertama. Dua walikota sebelumnya diangkat dari unsur militer, yaitu Kapten TNI AD Soejono dan Mayor TNI AD Ngoedio.
Peran Kadrie Oening selaku walikota memang tak bisa dipungkiri lagi.
Disana-sini dia mulai melakukan perubahan wajah kota. Yang pertama dia lakukan adalah pelebaran jalan-jalan dalam kota dan menata bangunan dan pembangunan.
Dulu, wajah kumuh dari berbagai bangunan kota serta jalan batu dan bopeng memang mewarnai kehidupan sehari-hari. Daerah kota yang kumuh ini dimalam hari menjadi tempat-tempat hiburan liar yang diwarnai  pelacuran dan pesta miras yang meresahkan masyarakat. Sering terjadi perkelahian akibat minuman beralkohol atau berebut Watunas. Watunas merupakan istilah dulu, yakni wanita tuna susila.
Kepemimpinan Kadrie Oening memang sangat berkesan. Dengar saja komentar Hermanto, yang kini menduduki jabatan Sekretaris DPRD Samarinda. “Beliau adalah seorang pemimpin yang patut ditelandani,“ ucap Hermanto ketika berbincang dengan BONGKAR! belum lama ini.
Semangat dan ketegaran Kadrie Oening dalam menata Kota Samarinda, menurut Hermanto belum ada yang menyamai. ”Waktu beliau jadi Walikota Samarinda, saya sudah bekerja. Saya masih ingat ketika beliau membentuk OK3 (Operasi Ketertiban Keamanan Kota) yang kemudian berubah menjadi Tibum dan terakhir disebut Satuan Polisi Pamong Praja (Sat pol PP). Saya sempat diberi tugas,” kenang Hermanto.
Waktu itu, katanya kondisi Kota Samarinda masih begitu rancu dan semberawut. Kadrie Oening selalu turun ke lapangan. ”Beliau tak perduli siang atau malam. Bahkan subuh sekalipun beliau akan memantau kota dengan berjalan kaki atau berkendaraan skuternya (kendaraan roda dua sejenis vespa),” ujar Sekwan.
Di mata Hermanto dan kawan-kawan seangkatannya, Kadrie Oening merupakan pelaku sejarah dalam peletakan dasar perubahan dan pembangunan Samarinda. Masih banyak yang dapat ditemui. Antara lain, perombakan dan pelebaran jalan kota, Bangunan THG yang sekarang menjadi Citra Niaga. Dia juga merancang dan salah seorang penggagas pembangunan Mesjid Raya Darussallam. Dia juga ’menghapus’ becak dari Samarinda sejak 1 Januari 1975, seperti yang tertuang dalam SK Walikotamadya Tk. II Samarinda No. 150 tahun 1974.
Kadrie juga merupakan salah satu konseptor Stadion Gelora Segiri, Jalan Kesuma Bangsa. Taman Makam Pahlawan yang tadinya berada di belakang hotel Virus, dipindahkan di Kesuma Bangsa, sehingga lokasinya dinilai lebih layak dan tertata rapi. Selain itu, dia pun merancang beberapa jembatan di Sungai Karang Mumus.
Dulu, kawasan Pasar Segiri masih berupa hutan rawa-rawa. Kadrie ini pula yang mau tinggal di kawasan tersebut. Padahal dia seorang walikota yang dipastikan bisa tinggal di tempat strategis atau bergengsi di mana saja.
Lokalisasi pelacuran, dulu masih berada dekat pusat keramaian sehingga campur baur dengan kehidupan masyarakat. Nah, Kadrie pula yang dengan tegas menggusur komplek pelacuran Pintu Lima dan memindahkannya ke pinggiran kota, yakni Kelurahan Air Hitam. Saat ini, bekas komplek pelacuran Pintu Lima di Jalan Dahlia itu diisi dengan perkantoran Pemkot Samarinda dan perumahan penduduk. ”Yang merancang dasar pembangunan Balaikota Samarinda sekarang ini, ya bapak Kadrie Oening itu,” timpal Hermanto.
Menurut Hermanto, masih banyak lagi yang sudah disumbangkan almarhum Kadrie Oening bagi pembangunan Kota Samarinda. Namun ia sangat menyayangkan, semenjak ia tak lagi menjabat, tak seorangpun yang terlihat peduli atau mengenang jasa-jasa almarhum.
”Paling tidak menjiarahi kuburan beliau sebagai penghormatan dan mengenang apa yang telah beliau lakukan untuk Samarinda,” ujar Hermanto agak menyindir para walikota pasca era Kadrie Oening.

Aji Raden Serif

Dia memilih bunuh diri ketimbang menyerahkan para kepala adat kepada tentara Jepang. Tindakan gagah beraninya itu mengobarkan semangat rakyat pedalaman Mahakam untuk melawan penjajah.
TAHUN 1945 merupakan saat-saat akhir kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur Raya melawan Sekutu. Menjelang kekalahan tersebut tentara Dai Nipon menjadi amat ganas dimana-mana. Mereka tak lagi mengenal berbagai aturan perang.
Saat itu, bagi Jepang tak ada tawanan yang boleh hidup. Baik sipil maupun militer sekutu, dibantai habis tanpa diadili.
Karena memegang tinggi harga diri, waktu itu tak seorangpun perwira Jepang yang dapat ditawan oleh sekutu. Tawanan sekutu pada umumnya hanyalah prajurit. Itupun kebanyakan bukan orang Jepang asli, melainkan orang-orang Korea dan Taiwan.
Para perwira Jepang jika kalah dalam suatu pertempuran, kebanyakan melakukan “harakiri“ atau bunuh diri di tempat tugasnya. Alasan tindakan itu, selain mereka yakin dengan kesucian pengabdiannya pada “tenohaika“ juga karena mereka tidak sudi disiksa dan dihukum mati tanpa perlawanan. Sehingga setelah usai perang para perwira Jepang tak banyak bersisa.
Pasukan Jepang dalam menaklukkan Asia Timur Raya, memang tidak berjalan dengan waktu lama. Dalam waktu hanya beberapa bulan saja mereka sudah mampu menaklukkan hampir secara keseluruhan, yang berujung di Indonesia dan Pilipina.
Menjelang kekalahan, balatentara Dai Nipon ini menderita kekurangan makanan akibat blokde Sekutu di berbagai daerah. Untuk tetap bisa bertahan hidup, mereka pun melakukan perampasan makanan milik rakyat dimana-mana.
Perampasan makanan ini juga sampai ke daerah pedalaman Mahakam Kalimantan Timur. Mereka menjarah ke berbagai pelosok dusun, hingga sampai ke perkampungan Dayak Benuaq di Tanjung Isuy, tepatnya di daerah Lamin Mancong.
Belakangan, masyarakat di Lamin Mancong sudah  tak mampu lagi memenuhi kewajiban menyerahkan hasil tanaman padi mereka pada tentara Jepang yang bermarkas di Muara Muntai. Rakyat di pedalaman Mahakam banyak yang jadi kelaparan karena semua hasil bumi mereka dirampas. Sadisnya, jika ada yang melawan, maka hukuman pancung pasti dijatuhan kepadanya.
Rakyat berurusan dengan tentara Jepang, jarang sekali terjadi. Dan, jika terjadi urusannya adalah mati. Begitulah yang dialami oleh berbagai lapisan masyarakat pada saat penjajahan  Jepang di Nusantara ini.
Daerah Lamin Mancong  keberadaannya di dalam alur sungai yang sekarang ini termasuk di wilayah Kecamatan Jempang dengan ibukotanya Tanjung Isuy. Tetapi pada waktu itu masih termasuk di dalam wilayah Kecamatan Muara Muntai. Antara Tanjung Isuy  dan Muara Muntai dipisahkan oleh luasnya Danau Jempang  yang dikelilingi pula oleh beberapa kampung Nelayan, seperti Jantur dan Kampung Aloh. Perkampungan ini  saling berhubungan melalui alur sungai dari Danau Jempang, Danau Semayang, Danau Melintang, hingga ke Kecamatan Kota Bangun.
Pada waktu itu pesawat bersampan milik pasukan sekutu sering  mendarat di atas danau Jempang, Danau Melintang dan Danau Semayang. Mereka sering mengadakan pertemuan-pertemuan dengan penduduk dan menyerukan perlawanan kepada pihak Jepang. Orang-orang Sekutu ini berjanji memberikan bantuan pangan dan senjata pada para penduduk tersebut.
Beberapa perkumpulan perlawanan dibentuk oleh para pemuda Mahakam secara diam-diam untuk melakukan perlawanan apabila pihak sekutu benar-benar membantu mereka dengan memberi senjata dan bantuan lainnya. Dengan kondisi memprihatinkan dan tak tahan lagi dengan perlakuan tentara Jepang yang kian ganas, orang-orang Lamin Mancong menolak memberikan hasil panen mereka pada pihak Jepang.
Penolakan ini membuat Jepang marah dan berusaha menangkapi para pemimpin suku yang membangkang dan melawan. Jepang lantas memerintahkan Aji Raden Serif –Kepala Penjawat (Camat) Kesultanan Kutai untuk pergi ke Mancong. Misi yang diberikan Jepang adalah membawa kepala adat suku Benuaq serta para petinggi (Kepala Kampung) ke Muara Muntai dengan dalih berunding.
Aji Raden Serif sangat paham kalau itu hanya sekedar akal bulus orang-orang Jepang. Kalau kepala adat dan petinggi sudah didapat, pastilah mereka akan dibunuh. Namun karena tak mampu berbuat apa-apa, A.R. Serif  terpaksa berangkat ke Mancong disertai dua orang Polisi Pamong Praja Kerajaan Kutai.
Setibanya di Mancong, A.R. Serif disambut dengan segala kehormatan oleh masyarakat dan kepala adat. Masalahnya, mereka adalah rakyat yang memang tunduk di bawah pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara
R.A. Serif lantas membicarakan masalah yang dihadapinya. Kepala Adat Mancong bernama Taman Poke pun memaklumi kesulitan tersebut. Apalagi dari mata-mata orang Dayak Mancong, dikabarkan kalau anak isteri dari Raden Serif sudah disandera oleh tentara Jepang. Tujuannya menekan A.R. Serif agar dapat memaksa Kepala Adat serta Petinggi Mancong ikut ke Muara Muntai.
Mendengar kabar itu, Aji Raden Serif bertambah bingung. Tak mungkin dia dapat memaksa Taman Poke atau kepala adat serta Petinggi Mancong. Kalau pun mereka mau, itu sama saja membunuh kedua orang tersebut melalui tentara Jepang.
Sedangkan keduanya adalah perangkat dan abdi dari Kerajaan Kutai juga. Apalagi pada dasarnya A.R.Serif memang tidak suka dengan keberadaan tentara Jepang. Namun, apapun alasannya dia tidak mampu berbuat apa-apa.
Sedangkan kalau AR Sherif pulang dengan tangan kosong, pihak Jepang akan membunuhnya dan membantai seluruh anggota keluarganya. Dalam keadaan sedemikian, AR Serif menjadi sangat kebingungan.
Oleh kepala adat Mancong, A.R. Serif diminta untuk tidak pulang ke Muara Muntai. Sang kepala adat juga berjanji akan mengirim beberapa orang andalannya untuk menculik dan menyelamatkan anak isteri Aji Raden Serif serta membawa mereka ke Mancong.
Namun demikian, Serif masih berpikir pula akan nasib rakyat Muara Muntai yang mungkin saja akan dibantai oleh orang-orang Jepang jika sampai terjadi penyelamatan atas anak isterinya oleh orang-orang Mancong. “Bukankah korban akan lebih banyak lagi?“ begitu pikir Serif. Rupanya ia merasa bertanggungjawab pula pada keselamatan penduduk.
Setelah beberapa hari di Mancong, suatu malam Serif diam-diam pergi ke suatu tempat. Di sana ia lalu melakukan bunuh diri. Sebilah mandau tajam dan beracun ia hujamkan ke dadanya hingga mengakhiri hidupnya.
Namun, tindakan Serif bukan tanpa alasan. Ia meninggalkan sepucuk surat yang ditujukan kepada masyarakat Muara Muntai, warga Mancong dan keluarganya. Dalam amanatnya dia meminta jenazahnya dibawa ke Muara Muntai dan diserahkan kepada keluarganya. Dalam sepucuk surat itu, Serif juga mengumandangkan kepada penduduk untuk melakukan perlawanan terhadap orang-orang Jepang sampai mereka terusir dari tanah Muara Muntai.
Ajaib, belum lagi genap empat puluh hari pasca tewasnya Aji Raden Serif, terjadi pertempuran dengan pihak Jepang di Muara Muntai. Masyarakat menyerang orang-orang Jepang dengan senjata apa adanya, seperti keris, mandau, parang dan tombak. Petempuran tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Muara Muntai saja, tetapi juga orang orang Dayak Benuaq dan Dayak Mahakam lainnya.
Jepang sama sekali tak mengira kalau rakyat Muara Muntai akan melakukan pemberontakan secara tiba-tiba. Beberapa pos penjagaan dan markas induk di Muara Muntai diserang dan dikuasai oleh penduduk.
Namun, Jepang cukup beruntung karena penduduk tak ada yang bisa menggunakan senjata api. Masyarakat ketika itu hanya mampu mempergunakan senjata tradisional sehingga serangan yang ditimbulkan tidak terlalu fatal.
Surat Raden Serif yang membakar semangat rakyat Muara Muntai dan sekitarnya memang sangat berpengaruh. Rakyat menjadi panas hati atas pengorbanan Serif yang dinilai sangat perduli kepada mereka. Untuk itu kenapa mereka harus berdiam diri dan tak tahu diri. “Dari pada mata berkalang putih, lebih baik mati tanpa kain putih.” Semboyan itulah yang membuat semangat rakyat berkobar melakukan perlawanan.
Walau sempat kalang-kabut, namun Jepang akhirnya mampu mengatasi situasi setelah mendatangkan bantuan markas mereka yang ada di Tenggarong. Banyak tentara Jepang yang tewas, walau di pihak rakyat juga tidak sedikit yang mati tertembus peluru.
Saat itu masyarakat sempat kecewa karena bantuan tentara sekutu yang diharapkan tak kunjung datang. Akhirnya mereka terpaksa tercerai-berai dan masuk ke dalam hutan untuk melakukan perlawanan secara bergeriliya.

Selasa, 11 Januari 2011

Pelarian Lima Pangeran

Pada tahun 1859 hingga 1863 Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari gencar dan sengit memerangi Belanda. Belanda kalang kabut, karena rakyat di hampir seluruh daerah Banjar bergolak melakukan perlawanan.
BELANDA mengajak melakukan perundingan secara damai, namun hal tersebut ditolak oleh para bangsawan Banjar yang didukung oleh orang-orang Dayak Kayan pedalaman - sekarang menjadi Kalimantan Tengah. Dengan semboyan ’Waja sampai Kaputing’, orang-orang Banjar melakukan perlawanan sengit terhadap Belanda.
Perang yang berlangsung selama empat tahun ini amat banyak merugikan pihak Belanda. Semua hasil bumi tak bisa dibeli. Belanda tetap kewalahan walau pasukan kompeni sudah didatangkan dari Jawa dan Makasar.
Perlawanan kaum pribumi terhadap Belanda bukan hanya terjadi di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Belanda juga harus menghadapi orang-orang Melayu dari Kerajaan Pontianak Kalimantan Barat yang memberontak.
Di Pontianak ini pula seluruh rakyat tak mau melakukan pembayaran pajak atau menyerahkan hasil bumi mereka pada Belanda. Lumbung-Lumbung milik Belanda dihancurkan dan dibakar sampai rata dengan tanah. Disinipun perlawanan terjadi baik di pusat kota kerajaan Pontianak maupun sampai di daerah pemukiman keturunan Cina dari suku “Khe“ yang berdiam di Singkawang maupun Sambas.
Orang-orang keturunan Cina baik di Sambas maupun Singkawang ini amat disegani dan ditakuti pihak Belanda. Sebab, mereka rata-rata berani dan pandai berkelahi. Dalam sejarah, hanya Raja Pontianaklah yang tak pernah menyerah dan tunduk kepada kerajaan Belanda hingga sampai pada perang kemerdekaan. Para Bangsawannya memang banyak yang gugur dan ditawan serta diasingkan oleh pihak Belanda. Namun demikian perlawanan tetap saja berjalan dimana-mana.
Begitu pula dengan kerabat bangsawan Banjar. Sekalipun perang dapat diselesaikan dengan menumpas dan menundukkan para pemberontak, tetapi kata-kata menyerah tak pernah terucap dari orang-orang Banjar. “Kalah berperang bukan berarti menyerah,” begitu ucap Pangeran Antasari ketika tertawan oleh pihak Belanda.
Sekalipun laskar Pangeran Antasari sudah dapat dikalahkan, namun perlawanan tetap saja ada dimana-mana sekalipun secara kecil-kecilan. Pihak Belanda amat jarang dapat bertahan lama di daerah Rantau, Kandangan dan Amuntai. Masalahnya diketiga daerah ini perlawanan terjadi bagai berperang dengan “ hantu “.
Dalam menghadapi perang Banjar ini, Belanda terpaksa meminta bantuan tambahan yang lebih besar dari Surabaya atau Jawa Timur. Kekuatan pun berlipat ganda dengan persenjataan yang lengkap sehingga dapat menumpas para pejuang Banjar.
Dalam keadaan terjepit Pangeran Ardi, yang berkedudukan di Banjarmasin, Pangeran Singa Menteri, di daerah Rantau, Pangeran Nata, di Amuntai, Pangeran Surya Nata, di Kandangan, Pangeran Permata Sari, di Tanjung Tabalong, keadaan mereka kian lama kian terdesak atas pendudukan tentara Belanda yang berkekuatan sangat besar serta mendirikan benteng-benteng penumpasan pada setiap perlawanan. Siapapun yang tertangkap tak ampun langsung dihukum mati.
Karenanya untuk menghindari penangkapan ini kelima Pangeran ini memutuskan untuk meminta perlindungan pada pihak Kerajaan Kutai di Tenggarong. Mereka lalu berangkat menuju daerah Kutai dan memasuki sungai Mahakam hingga sampai ke daerah Muara Pahu sebuah kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan Kutai yang dirajai Raden Mara  Jelau – Keturunan dari Raden Baroh.
Namun karena kerajaan Kutai Ing Matadipura sudah tunduk dan mengakui kedaulatan Kerajaan Belanda atas kerajaannya, maka Sultan Aji Muhammad Sulaiman, memerintahkan agar kelima Pangeran Banjar tersebut menghadap ke Tenggarong. Dalam putusan, Pangeran Ardi diserahkan kepada Belanda di Banjarmasin karena dianggap sebagai biang pemberontakan, selain Pangeran Antasari.
Pangeran Ardi yang diserahkan kepada Belanda, di Banjarmasin akhirnya meninggal dunia di dalam tahanan. Kematian Pangeran Ardi ini menimbulkan cerita simpang siur. Ada yang mengatakan dibunuh dalam tahanan, ada pula yang mengatakan dibuang keluar Kalimantan.
Namun ada pula yang mengatakan Pangeran Ardi meninggal karena sakit. Tapi, ada pula cerita yang mengatakan kalau Pangeran Ardi ini menghilang  entah kemana. Kalau si Pangeran tewas, tentu ada kuburnya? Namun hingga sekarang tak jelas dimana makamnya atau keberadaannya.
Ada pula cerita lain yang mengatakan kalau Pangeran Ardi diloloskan dari tahanan oleh seseorang dari pihak militer Belanda yang bersimpati kepada sang pejuang tersebut. Dikatakan Pangeran Ardi dilarikan ke daerah kerajaan Serawak dan mendapat perlindungan penuh dari Raja Serawak. Pangeran Ardi berganti nama dan berketurunan hingga anak cucu serta menetap hingga akhir hayatnya di Kerajaan Serawak.
Di lain pihak, Pangeran Nata diberi suaka untuk membantu penjawat Kerajaan di Muara Pahu sedang tiga Pangeran lainnya menetap di Tenggarong atas jaminan dan perlindungan Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Salah satu dari ketiga Pangeran ini juga beranak cucu di Kerajaan Kutai. Salah satu keturunannya menjadi kepercayaan sultan dan diberi gelar Panglima Katoeng, dengan wilayah kekuasaannya di daerah Loa Kulu. Sayangnya garis keturunan yang mana dari ketiga pangeran tersebut yang menurunkan “Panglima Katoeng.” dimaksud, kepastiannya jadi tak jelas.
Sedang para pengikut kelima Pangeran Banjar diperbolehkan pula tinggal di daerah Kutai yang keturunannya hingga kini menyebar di daerah  Danau Semayang, Muara Muntai, Muara Pahu, Danau Jempang, Danau Melintang dan Kota Bangun dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan dan petani.