Rabu, 12 Januari 2011

Ayus Dan Gunung Sakerat

AYUS adalah lelaki berperawakan tinggi besar dan kekar. Memiliki kekuatan dan kesaktian yang luar biasa, walau kadang tindakannya bodoh.  Ia tak takut apa pun, kecuali jika ia salah. Untuk daerah Kaltim, nama Ayus mungkin tak asing lagi, khususnya di daerah Kutai, mulai dari pedalaman hingga pesisir pantai. Tanah kelahirannya masih simpang siur. Ada yang bilang Ayus dari Muara Pahu, dan ada pula dari  kampung di atas Long Iram. Walau kadang bertindak bodoh, Ayus memang pemberani. Buktinya? Ketika raja Muara Pahu -- Raden Baroh -- memintanya mengantarkan ayam jago pada Raja Kutai di Jaitan Layar (Kutai Lama), Ayus butuh waktu hanya sehari untuk kembali ke Muara Pahu. Ia  membawa bukti berupa cincin Raja Kutai yang berarti ayam telah diterima sang Raja. Padahal, jarak Muara Pahu -- Jaitan Layar sangat jauh. Kalau naik perahu atau sampan saja membutuhkan waktu berminggu-minggu baru sampai di Kutai Lama.
Itu baru berangkatnya saja, belum lagi kembalinya ke Muara Pahu. Apalagi, Ayus sendiri diketahui hanya berjalan kaki sehingga bisa dibayangkan berapa minggu baru  ia tiba.  Tapi, sekali lagi, Ayus memang memiliki kesaktian luar biasa, sehingga dalam tempo sehari saja tugas diselesaikannya.  Hingga saat ini belum diketahui dari mana ia memperoleh kesaktian yang sangat luar biasa itu.
 Walau begitu, ada juga kebiasaan buruknya. Jam tidur Ayus sangat panjang dan tak cukup satu hari. Makannya  pun tak cukup satu kawah besar. Jika ia merasa kelaparan dan  warga tak menyediakan hidangan untuknya, maka ia pergi ke dalam hutan. Ia cabut puluhan pohon BandingNibung di mana umbut atau akar  pohon itu dapat ia makan.   atau
Suatu hari Ayus membuat kesalahan. Walau kesalahannya dianggap sepele, tetap saja Raden Baroh marah besar. Tak heran kalau Raden pun berniat membunuh Ayus, tanpa peduli kesaktiannya. Ceritanya berawal ketika suatu hari Raden Baroh berniat membangun istana baru, mengganti istana yang ada dan sudah lapuk dimakan usia. Raden pun  berunding dengan para petinggi kerajaan, termasuk sesepuh masyarakat yang akhirnya  menyepakati dilakukan  gotong royong.
Hari baik pembangunan dan pemancangan tiang guru istana akan dilaksanakan seminggu lagi. Ayus yang hadir saat itu malah ikut menawarkan diri melakukan pemancangan tiang guru istana, tapi syaratnya ia harus melakukannya seorang diri. Permintaan Ayus pun   disepakati dengan syarat  waktu pemancangannya tak boleh lewat tengah hari.
Nah, ketika pemancangan tiba, Ayus ternyata masih tertidur pulas. Tidak ada seorang pun yang berani membangunkan. Waktu berlalu, matahari sudah tepat di atas kepala, Ayus belum juga tiba. Akhirnya, pemacangan tiang guru istana dilakukan.  Atas persetujuan Raden Baroh, tiang guru didirikan beramai-ramai disertai upacara adat yang berlaku. Empat puluh jenis bunga ditaburkan dan tiang guru diikat dengan kain kuning serta dihempas dengan mayang pinang berurai,  termasuk ditaburi beras dengan tujuh macam warna.
Tiang guru istana selesai didirikan, dan rakyat kerajaan Muara Pahu pun berpesta ria. Berbagai jenis makanan tersedia yang sebelumnya telah dimasak orang sekampung. Tari-tarian para bujang dan dara turut meramaikan suasana pesta,  menyambut berdirinya tiang guru atau tiang utama istana. Dan,  hari itu juga, semua anak bayi yang berumur satu bulan ke bawah dimandikan dengan air percikkan atau air tawar pendirian tiang guru. Maknanya,  orangtua menghendaki agar kelak anaknya menjadi pengabdi kerajaan yang setia. Dalam hukum adat kerajaan Muara Pahu, setiap pembangunan besar terlebih istana tempat tinggal para bangsawan dan raja, harus dilakukan upacara tepung tawar dan pesta meriah selama tujuh hari tujuh malam disertai memotong berbagai hewan ternak seperti ayam, itik, bebek, kambing, sapi hingga kerbau.  
Hari ketiga pasca pemancangan,  Ayus baru terbangun. Ia bergegas menuju tempat pembangunan istana dengan maksud mendirikan tiang guru sendirian.  Namun,  saat tiba di lokasi, ia melihat tiang guru telah berdiri tegak. Ayus kecewa bercampur sedih. Sambil duduk di bawah pohon Randu, Ayus terus berfikir dan bertanya-tanya kenapa orang kampung tak sabar menunggu dirinya, dan kenapa pula tidak membangunkan  tidurnya?
Di tengah lamunan itu, seorang petinggi kampung datang menghampiri dan berkata.  “Kesalahan ini datang dari dirimu sendiri. Saat pemancangan engkau tak kunjung tiba dan beberapa kali warga mencoba membangunkanmu, tapi kau tak kunjung bangun. Karena itu baginda  memerintahkan  agar tiang guru istana didirikan karena takut lewat pada waktunya. Jika  tidak, maka kita semua akan “tuhing” (sial) atau mendapat kesialan,” ujarnya.
Ayus hanya terdiam. Ia tetap duduk termenung memendam rasa kekecewaan dan kekesalan mendalam. Anggapannya, Raden Baroh yang salah karena tak menunggunya bangun dari tidur. Beberapa hari  Ayus duduk termenung di bawah pohon Randu, tak mau makan dan minum walau disediakan warga. Hatinya meradang dan merasa terhina karena tak dianggap sebagai abdi raja. Pikiran Ayus pun melayang sambil hati kecilnya  berkata :  “Jangankan memancang satu batang tiang guru, seratus tiang guru pun aku sanggup  memancangnya dalam satu hari saja.”
Merasa amat terhina,  Ayus berniat tak tinggal lagi di Muara Pahu. Kalau tidak, ia akan  jadi olok-olokan warga. Ayus merasa tak berguna lagi, terlebih orang di sekelilingnya sudah  tak peduli  padanya. Tekadnya bulat harus  pergi,  tapi harus meninggalkan kerajaan  dengan berbuat sesuatu yang  bisa  dikenang selamanya.
Apa yang dibuatnya agar warga Muara Pahu ingat selamanya? Berhari-hari ia berfikir, dan banyak ide ‘gila’ yang lahir seperti menguras sungai Mahakam yang tak mungkin dilakukan, atau menghancurkan bangunan pun  percuma karena bisa dibangun kembali. Lalu mencabut dan membawa lari tiang guru istana juga tak mungkin karena bisa diganti dengan baru. Kesimpulannya, Ayus  harus pergi juga dari Muara Pahu.
Kegalauannya terjawab ketika  Ayus sesekali melihat sekelompok anak-anak asyik bermain petak umpet di dekatnya. Di antara anak-anak yang asyik bermain terdapat putra  Raden Baroh. Ayus terdiam sesaat dan berfikir, akhirnya dalam hatinya berkata “Ini dia solusinya,”  pikir Ayus sambil berdiri dan mendekati anak sang raja. 
Ia melampiaskan perasaan marahnya dengan menangkap anak raja, dan membawanya   menuju bangunan istana. Lalu Ayus mencabut tiang guru istana dengan menggunakan sebelah tangan. Dan,  tanpa ampun lagi, anak Raden Baroh dilemparnya ke dalam bekas lubang tiang pancang yang ia cabut.  Setelah sang anak masuk lubang, ia tancapkan lagi tiang guru istana itu.  Darah anak sang raja menyembur deras akibat hentakan kayu ulin yang berukuran sangat besar. Anak raja pun  tewas.
Warga Muara Pahu yang masih asyik berpesta menjadi geger. Suasana sempat hening sesaat. Sebagian warga berbisik dan mengatakan si Ayus sudah gila dan kehilangan akal. Sesaat kemudian para prajurit kerajaan pun datang mau menangkap Ayus. Tapi, apalah artinya sepuluh prajurit dibanding kesaktian Ayus. Hanya sekali libas,  beberapa prajurit langsung terpental berserakan ke mana-mana.
Raden Baroh bergegas menuju bangunan istana baru. Raja menangis sejadi-jadinya sambil melihat jasad sang buah hati yang masih bersimbah darah tertancap tiang guru istana. Warga dari berbagai kampung pun berdatangan untuk menyampaikan rasa belasungkawa. Dan, mereka juga beramai-ramai mencari Ayus yang  sudah lari ketakutan menjauhi kerajaan.
Ayus meninggalkan Muara Pahu bukan  karena takut pada orang sekampung, tapi ia  menyadari perbuatannya telah membunuh anak rajanya sendiri. Ia takut Raden Baroh mengeluarkan sumpah untuk dirinya. Dan, agar tak mendengar sumpah Raja, ia melarikan diri, yang ternyata sesuai keinginnannya untuk pergi meninggalkan Muara Pahu.                        
Ayus terus berlari siang dan malam.  Menuju arah pantai dan bekas jejaknya pun dapat ditemukan hingga saat ini. Ayus berlari hingga ke kampung Bengalon dan ternyata ia tidak diterima oleh warga di sana. Warga Bengalon takut kalau kampung mereka diserang oleh prajurit Raden Baroh,  Muara Pahu.   
Ayus tambah sedih dan kembali berlari dan menuju arah Sangkulirang. Sebelum meninggalkan Bengalon, ia sempat mengambil sebuah Kijing -- sejenis tiram atau kima berkulit batu --  yang didapatnya pada sebuah sungai.  Kijing ukuran cukup besar yang hampir sama dengan gubuk atau pondok yang kerap dibangun di sawah atau ladang, dilemparkannya pada sebuah gunung  di pantai kampung Bengalon. 
 Kijing tersebut menancap pada sisi gunung bagian atas, sehingga gunung tersebut bagai terkerat atau terpotong dan hampir terpisah antara puncak dan bawahnya. Kulit kijing itu berwarna putih mengkilap  dan memantulkan cahaya keputih-putihan akibat terkena sinar matahari. Akhirnya gunung tersebut menjadi pedoman berbagai kapal layar menuju daerah Sangkulirang atau Bengalon.  Ayus  tak pernah terdengar kabarnya sampai sekarang, entah mati atau hidup. Namun, ada isu yang mengatakan bahwa Ayus bersembunyi di daerah sepanjang gunung Meratus. Dan, gunung dengan kulit Kijing  menancap tersebut saat ini dikenal dengan sebutan “Gunung Sakerat”. Begitulah ceritanya.

Tumbal Bengalon

Di Kutai Timur terdapat sebuah gua yang melimpah dengan sarang wallet. Gua ini tepat berada di Gunung Sakerat dan dinamai Lubang Tiga. Untuk menemukan dan memetik sarang itu wajib menyediakan tumbal. Kalau tidak, salah satu anggota keluarga yang bersangkutan akan dijadikan tumbal atau lebih dikenal sebagai ‘Tumbal Bengalon’.
YANG namanya hutan – apalagi disebut rimba belantara – tentu banyak yang berasumsi kalau di sana tak ada penghuninya. Paling tidak, keberadaannya hanyalah tempat orang-orang hutan atau manusia liar. Kenyataannya memang demikian. Yang disebut hutan dan rimba itu jelas tak berpenghuni atau bukan tempat tinggal manusia. Sebagaimana wilayah Kalimantan Timur yang masih begitu luas, walau telah terjadi pembabatan hutan oleh perusahaan-perusahaan kayu. Ya, hingga kini yang namanya hutan itu masih ada dan banyak bisa dijumpai di berbagai daerah Kaltim.
Hutan di Kaltim hingga sekarang masih banyak menyimpan kekayaan alam baik berupa tambang maupun hasil hutan ikutan. Sebut saja rotan, damar, kayu gaharu dan lain-lain, termasuk sarang burung wallet. Yang disebut terakhir ini, sekarang jadi buruan banyak pengusaha karena harganya sangat menggiurkan.
Memang, kini di perkotaan  banyak yang dapat memelihara burung wallet dengan membangun tempat burung burung tersebut bersarang.  Walau demikian, ternyata sarang burung wallet secara alami kualitasnya jauh lebih baik ketimbang sarang yang dihasilkan oleh sarang buatan manusia di perkotaan.
Dari segi kwantitas pun, sarang burung wallet alami jauh lebih besar. Karenanya, cukup banyak pemburu sarang wallet di berbagai tempat. Mereka merambah segala penjuru hutan demi mencari burung ini bersarang. Tak jarang satu goa wallet bisa menimbulkan keributan dan pertikaian antara sesama pencari.
Adalah suatu daerah yang disebut Bengalon. Keberadaannya persis di wilayah Kabupaten Kutai Timur yang beribukota di Sangata. Di daerah Bengalon banyak terdapat lubang atau sarang wallet alami. Namun sarang di daerah ini sebagian sudah ada yang memiliki. Untuk menandai pemiliknya, setiap sarang diberi nama bermacam-macam. Dan, setiap lubang dijaga oleh pemilik untuk mengantisipasi penjarahan para pencuri yang setiap waktu mencari kesempatan.
Kendati demikian, ternyata masih banyak lubang-lubang sarang lainnya yang belum ditemukan masyarakat. Karenanya, mereka terus berusaha melakukan pencarian kemana-mana.
“Sebenarnya ada satu gunung yang memiliki tiga lubang sarang yang saling bertembusan satu sama lainnya. Disini, sarang burungnya sangat banyak. Diperkirakan, dalam sekali petik hasilnya tidak kurang dari ratusan kilo,“ begitu kisah Pak Boyon, seorang penduduk Bengalon, beberapa waktu lalu.
“Hingga kini lubang tersebut tak ada yang menemukannya. Saya saja ketika menemukan lubang sarang tersebut berselang sudah sekitar duapuluh tahun yang lalu,” lanjut Pak Boyon yang kini sudah berusia tujuh puluh tahunan.
Pak Boyon adalah seorang yang ahli dalam mencari lokasi tempat burung wallet bersarang. Karena keahliannya itu pula, dia selalu diminta pemilik sarang wallet lainnya untuk ‘menyawai’ (membaca mantera) pada setiap lubang agar burung-burung tersebut tak berpindah tempat.
Memang, burung-burung wallet ini sangat peka. Mereka, jika terusik atau merasa diganggu, secara tiba-tiba akan menghilang dan berpindah tempat. Nah, agar tak berpindah tempat maka lubang sarang itu diberi mantera menurut kepercayaan dengan disertai pula sesaji yang ditujukan pada para penunggu lubang sarang itu.
Dikatakan Pak Boyon, para penunggu lubang sarang itu terdiri dari orang-orang gaib atau Jin. Karenanya jika tak ‘permisi’ konon burung-burung tersebut bakal dipindahkan oleh para penunggu lubang. Bisa juga para pencari akan disakiti dan diganggu. Bahkan, kabarnya ada yang bisa jadi gila.
Untuk itulah dilakukan  pemberian sesaji sebagai syarat meminta agar burung-burung itu tidak menghilang, serta para pencari lubang tidak disakiti oleh yang disebut sebagai penunggu. Memang sangat menggiurkan, satu kilo sarang putih sekarang bisa berharga sampai duabelas juta rupiah. Sedang sarang hitam serendahnya berharga delapan juta rupiah per kilogram.
Dari penuturan Pak Boyon, Lubang Tiga Sarang Burung itu terletak di pertengahan Gunung Sakerat. Muara salah satu lubang itu terdapat di pinggiran jalan setapak yang menuju puncak Gunung Sakerat. Gunung ini cukup terkenal karena selalu jadi pedoman para pelaut yang mau masuk ke Bontang atau ke Sangkulirang. “Gunung Sakerat merupakan salah satu gunung tertinggi yang kaki pada bagian selatannya mengarah ke pantai laut,” kata Pak Boyon.
Kenapa gunung ini sering dijadikan pedoman oleh para pelaut?
Masih menurut Pak Boyon, di atas puncak gunung itu  terdapat Kulit Kima yang berkilau kalau terpantul matahari ataupun cahaya bulan pada malam harinya. Konon kabarnya keberadaan kulit kima itu adalah perbuatan si Ayus yang melemparkan kima ke atas gunung tersebut. Dipercayai bahwa kima yang dilempar itu kian lama kian membesar sehingga gunung tersebut pada bagian puncaknya bagai terkerat. Karena itu pulalah gunung tersebut dinamai Gunung Sakerat.
Ayus sendiri adalah seorang pelarian bertubuh tinggi besar, berwatak berangasan dan sedikit kurang waras. Tadinya si Ayus ini adalah rakyat dari Kerajaan Muara Pahu yang dipimpin Raja Raden Baroh. Namun karena bersalah telah membunuh anak kesayangan Raden Baroh, maka Ayus menjadi takut dan lari hingga ke pantai.
Karena merasa bersalah, dia jadi kesal atas perbuatannya sendiri. Kekesalan itupun dilampiaskannya dengan mengambil kima besar di pantai dan melemparkannya ke arah gunung hinga menancap di sekitar puncak gunung tersebut.
Ketika Perang Dunia ke II meletus, puncak Gunung Sakerat tersebut dijadikan oleh tentara sekutu sebagai suatu tempat pertahanan udara serta lokasi pengintaian terhadap kapal-kapal perang tentara Jepang. Hingga kini di puncak gunung tersebut – menurut cerita – masih tertinggal beberapa benda milik sekutu dalam bentuk sebuah goa buatan, dua buah meriam, sebuah Jeep Willys dan sebuah jam besar. Yang aneh barang-barang tersebut dengan cara apa bisa berada di puncak gunung itu. Namun banyak perkiraan pada waktu itu mungkin ada badan jalan yang diolah sehingga kendaraan logistik dapat mencapai lokasi pertahanan tersebut.
Kemungkinan ada jalan tersebut bisa saja terjadi pada waktu itu. Namun karena sudah puluhan tahun tak lagi dipergunakan, maka jalan tersebut kembali tertutupi semak belukar sehingga yang tersisa hanya jalan setapak.
Yang agak aneh, dari beberapa orang yang naik ke puncak gunung ini dengan niat menemukan barang-barang peninggalan Sekutu itu, tak pernah berhasil memuaskan keinginannya. Namun, bagi mereka yang tak bermasud mencarinya, malah menemukan lokasi pertahanan itu lengkap dengan barang-barang yang ada. Bahkan, ada yang mengaku pernah menemukan kotak besar yang berisi peluru meriam.
“Itu sama halnya dengan Lubang Tiga Sarang Burung yang ada disana. Kalau dicari bagaimanapun tak ada yang pernah menemukannya. Saya sendiri pernah bersama beberapa orang mencoba mendatangi tempat tersebut, namun juga tak berhasil. Tetapi jika saya sendirian ke sana, dengan mudah saya bertemu Lubang Tiga tersebut. Saya memasuki lubang tersebut hingga tembus ke muara dua lubang lainnya. Namun saya sekeping pun tak berani menyentuh sarang yang benar-benar banyak itu. Hal ini karena saya diberi mimpi untuk tidak menyentuh sarang burung di sana walau selembarpun kalau tak ingin celaka,” kisah Pak Boyon.
Masih menurut Pak Boyon, Lubang Tiga yang ada di sana bisa saja didapat atau diambil sarangnya tetapi dengan satu syarat. Sarang-sarang yang diambil wajib diganti rugi dengan tumbal di kampung Bengalon. Tumbal itu antara lain, menanam tiga kepala kambing putih (Kepala Manusia Bule) dan lima ekor kerbau hutan (Liar).
“Jika tidak dilakukan, jangan pernah berharap lubang tersebut bisa ditemukan dan diambil isinya. Kalau pun ada yang berhasil menemukan dan mengambil isinya, maka dikatakan isi boleh diambil tetapi jiwa salah satu anggota keluarga si penemu menjadi penggantinya. Roh orang yang diambil itu kemudian akan dijadikan penunggu atau penjaga kampung Bengalan atau dengan sebutan lain sebagai ‘Tumbal Bengalon’.

Misteri Gunung Meratus

Di Kalimantan ada gunung panjang yang membentang dari arah barat hingga ke bagian timur pulau ini. Gunungnya memang tak terlalu tinggi, namun dapat kita bayangkan luas dan panjangnya karena membentang melalui tiga Provinsi yaitu Kalimantan Selatan dan Tengah serta Timur. Gunung yang tumbuh berjajar di sepanjang jalur ini disebut sebagai Gunung Meratus.

TAK ada gambaran jelas yang pasti tentang berapa panjang dan banyaknya gunung tersebut. Adapun yang digambarkan sementara ini sebagian besar diperkirakan hanyalah reka-reka yang tak pasti – baik soal jumlah gunung maupun ukuran panjangnya. Buku “Di Pedalaman Borneo“ yang ditulis oleh A.W. Nieuwenhuis pada tahun 1894 pun bahkan tidak menyebutkan hal itu.
Diketahui, A.W. Nieuwenhuis warga Belanda seorang dokter yang juga sebagai ahli etnografi dan antropologi, didukung oleh Maatschappij ter Bevondering Van Het Natuurkundig Onderzoek der Nederlandsche Kolonien (Perhimpunan untuk memajukan penelitian di daerah daerah koloni Belanda) – membentuk tiga tim yang terdiri dari para ahli ilmu pemetaan, penggalian suber alam, penelitian tentang penduduk pedalaman, serta flora dan fauna. Tim ini melakukan perjalanan dari Kalimantan Barat dengan menyusuri Sungai Kapuas hingga ke kepala Sungai Mahakam dan berakhir sampai ke Samarinda Kalimantan Timur. Ekpedisi ini pun tak ada penjelasan tentang luas dan panjangnya Gunung Meratus. Padahal mereka sudah memulai perjalanan dari Sungai Kapuas Pontianak Kalimantan Barat.
Perjalanan tersebut, selain didukung oleh oleh Maatschappij ter Bevodering van het Natuurkundig Onderzoe der Nederlansche Kolonien, juga diback-up oleh Residen Water Afdeeling van Borneo yang berkedudukan di Pontianak Kalimantan Barat. Hal ini didorong oleh banyaknya minat negara lain yang mengirim utusan ke pulau Borneo untuk melakukan penelitian sekaligus berusaha melakukan pendudukan. Seperti halnya pada abad ke 18, ketika Inggris dan Belanda melakukan kekerasan dan intimidasi pada penduduk di kepulauan Borneo. Diantaranya, petualangan Alexander Hare di Banjarmasin pada tahun 1812,  James Brooke dan Robert Burns tahun 1848 di Sarawak yang berupaya mendirikan kerajaan bagi dirinya sendiri, James Erskine Murray si orang Inggris memasuki Kutai pada tahun 1844 yang berujung tewas karena berperang dengan laskar Kerajaan Kutai, Selanjutnya Muller 1825 dan Dalton 1828 yang menjelajahi Borneo atas nama Negara Belanda.
Adalah seorang perwira Zei dari tentara Napoleon I, bernama George Muller, masuk dalam Pamongpraja Hindia Belanda. Muller mendapat tugas melakukan hubungan dengan pihak Sultan Sultan di pesisir Borneo pada tahun 1825. Muller berangkat bersama pasukan yang terdiri dari orang-orang Jawa. Misi utamanya, jika Sultan Sultan yang didatanginya tidak sejalan, maka kasultanan ini akan diperangi dan dihancurkannya hingga dapat diduduki.
Namun, Kerajaan Kutai tak membiarkan keadaan yang mengancam itu. Akibatnya, terjadilah pertempuran sehingga pasukan George Muller hancur tercerai-berai dan berlarian memasuki hutan. Tercatat, serdadu Jawa yang selamat mencapat bagian barat Borneo hanyalah tinggal satu orang, sedang nasip Muller sendiri dan sisa pasukan belum diketahui.
Ada kabar, George Muller bersama pengikutnya terbunuh di daerah Kapuas Hulu sekitar Nopember 1825, tepatnya di sungai Bungan. Tapi, cerita tersebut hanya perkiraan yang tak jelas kebenarannya. Yang pasti, Muller hingga kini tak pernah ditemukan.
Ada pula cerita lain tentang pelarian Muller yang dikejar laskar Kesultanan Kutai. Dikatakan, karena kalah Muller berlari hingga ke Gunung Meratus dan menghilang di sana. Katanya Muller dilindungi oleh pasukan kerajaan orang gaib yang berada di pegunungan Meratus tersebut.
Cerita tentang Gunung Meratus juga diungkapkan oleh penduduk tua Suku Bukit Kalimantan Selatan Bernama Amung Tahe. Pria yang telah tinggal turun-menurun di dusun Rangit - kaki gunung Meratus menceritakan pengalaman hidupnya, ketika bertualang menjelajahi Gunung Meratus. Dusun Rangit sendiri adalah sebuah dusun yang bisa ditempuh dari daerah pedalaman Kabupaten Paser. Namun tidak diketahui pasti, dusun ini termasuk di dalam kecamatan atau kabupaten mana. Tetapi didalam peta wilayahnya termasuk kawasan  Provinsi Kalimantan Selatan.
Bagi masarakat Suku Bukit sendiri, mereka tak mengerti tentang dusun tempat tinggalnya apakah termasuk di daerah Kalsel, Kaltim  atau pula Kalteng. Bagi mereka hal itu bukanlah persoalan. Yang jelas mereka bisa saja ada di mana-mana. Bagi mereka, hutan adalah rumah dan kehidupan mereka.
Secara umum, masyarakat suku Bukit berdiam di belantara seputar kedua sisi Gunung Meratus. Dikatakan Amung Tahe, gunung di sana memang berjumlah seratus gunung. Namun yang dapat dihitung gunungnya hanya ada sembilan puluh sembilan buah. Lalu yang satu gunung itu merupakan induk dan puncak tertinggi yang jarang dapat dilihat secara kasat mata.
Dari kaki gunung menuju ke puncak itu bertingkat tujuhbelas naik dan tujuhbelas turun. Menurut penuturan Amung Tahe, di puncak tertinggi itu adalah merupakan suatu tempat kediaman Maharaja Meratus yang tak bisa dilihat atau gaib. Terkecuali jika dikehendaki oleh sang Maharaja.
Konon, di atas puncak gunung tersebut merupakan dataran yang cukup luas. Di dataran ini ada sebuah bangunan istana tempat sang Maharaja bersemayam. Kerajaan gaib di Gunung Meratus ini tidak hanya sendiri, tetapi ada  lagi kerajaan-kerajaan kecil diseputarnya, yang juga disebut kerajaan orang-orang gaib (bunian).
Di kawasan pegunungan ini sangat kaya dengan hasil hutan dan alam. Pernah ada seseorang, ketika berjalan di anak sungai yang terdapat di sana menemukan batu berlian dan bongkahan-bongkahan emas pada dinding kerang batu di pinggiran sungai.
Orang-orang gaib dari pegunungan Meratus sering turun ke berbagai kota, baik di Kalsel, Kalteng maupun Kaltim. Kebanyakan mereka menyaru seperti orang-orang suku Bukit berdagang kayu gaharu yang berkwalitas tinggi serta membawa bongkahan-bongkahan batu kecubung dan yakut yang masih mentah. Barang barang ini mereka jual atau barter dengan tembakau, garam, minyak wangi-wangian, bahkan butir-butiran manik dan mutiara.
Amung Tahe juga bercerita, kalau almarhum bapaknya yang sering bertualang memasuki daerah gunung Meratus, mengaku pernah bertemu dengan orang tinggi besar berambut coklat kemerahan dengan pakaian seperti orang barat (Belanda tempo doeloe_Red) dikawal oleh beberapa orang berseragam. Tetapi ketika diikuti orang-orang tersebut tiba-tiba menghilang tak diketahui ke mana.
Menurut cerita masyarakat yang tinggal di daerah sepanjang Meratus ini mereka juga sering melihat orang Belanda dengan berpakaian tempo doeloe berjalan disertai beberapa orang berseragam lengkap dengan bedil dan pedang. Namun apabila dikejar, maka apa yang mereka lihat itu menghilang begitu saja.
Konon, dari wajah dan pakaian serta tanda-tanda yang terdapat pada si orang Belanda ini cirri-cirinya sama dengan Kapten George Muller yang hilang tak tentu rimbanya itu. Kalau benar, yang dilihat itu adalah George Muller, tentunya sudah menjadi orang gaib. Ada juga yang mengatakan kalau rohnya masih penasaran dan bergentayangan di sepanjang gunung Meratus karena tewas dibunuh. Bisa juga ia tewas karena dibantai oleh masyarakat liar di pedalaman yang saat itu masih primitif.
Namun yang jelas, apa yang terjadi di sepanjang Gunung Meratus, hingga kini masih penuh dengan misteri.

Puan Si Taddung

Lantaran tak mendengar peringatan sang istri, Puan Si Taddung terpaksa kehilangan orang yang dia cintai selama-lamanya.
PADA zaman dahulu kala, di Kampung Tanjung Batu, Tanah Berau, hiduplah seorang pemuda bujangan bernama Puan Si Taddung. Dalam kesehariannya si Puan adalah seorang pemburu. Tetapi walau demikian Puan Si Taddung ini adalah seorang pemuda cerdas dan pintar.
Badannya tinggi dan tegap. Dia dikenal sebagai seorang pemuda pemberani yang memiliki kepandaian bersilat atau ilmu bela diri. Konon, ia pernah mengalahkan sepuluh orang lanun dari laut yang mencoba merampok di perkampungan Tanjung Batu. Selain ada yang tewas, sisanya lari terbirit birit  pergi ke laut. Karena itulah Puan Si Taddung jadi disegani oleh kawan-kawannya.
Suatu hari dia bersama beberapa kawannya pergi berburu memasuki hutan. Biasanya jika dia berhasil, hasil buruannya selalu dibagi-bagikan pada orang sekampung. Kebiasaannya ini membuat warga kampung bertambah suka kepadanya.
Suatu ketika, Taddung dan kawan-kawannya sedang berburu. Sudah beberapa hari mereka berada di dalam hutan, namun keberuntungan kali ini tak berpihak kepadanya. Tak satupun binatang buruan dapat tertangkap oleh mereka. Terpaksalah mereka pulang dengan tangan hampa.
Setelah melakukan persiapan, kembali Puan dan kawan kawannya pergi memasuki hutan untuk berburu. Namun keberangkatan yang sekali ini mencapai sepuluh hari tidak juga dapat menghasilkan barang buruan. “Apakah binatang buruan di hutan ini sudah habis?“ celetuk salah seorang dari mereka. “Tidak mungkin, ini mungkin kita saja yang lagi sial.”  sahut kawannya yang lain. Alhasil perbekalan habis lagi merekapun terpaksa pulang tampa membawa hasil.
Malam harinya Puan Si Tadung duduk di depan pondoknya. Sedang asik melamun, tiba tiba di dekat pondoknya telah ada seseorang tua yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Puan lalu bertanya, “Hendak kemanakah bapak malam-malam begini?“
Orangtua itu lantas tersenyum dan berucap, “Tidak kemana-mana, aku hanya kebetulan lewat. Tetapi aku bolehkah meminta sirihmu? Aku ingin makan sirih.”
Puan lalu memberikan sirihnya sambil mempersilahkan si orangtua naik ke pondoknya. Setelah naik si orangtua dengan senang hati lalu memakan sirih yang disuguhkan kepadanya.
“Begini anak muda, jika engkau hendak berburu janganlah berangkat sore. Tetapi besok pagi-pagi sekali kamu pergi sendirian saja. Ambillah ke arah barat. Percayalah engkau pasti akan mendapatkan buruan yang akan membuat kamu bahagia,“ kata si orangtua tersebut.
Maka pagi-pagi sekali, ketika matahari baru mulai terbit di ufuk timur, Puan Si Taddung berangkat meninggalkan pondoknya seorang diri. Dia pergi menuju arah barat sebagaimana petunjuk orangtua misterus yang singgah di pondoknya. Dia terus berjalan dengan pandangan liar seorang pemburu. Namun sampai lewat tengah hari dia tak juga menemukan seekor rusa sekalipun. Bahkan, hari telah kian bejalan dan mulai memasuki sore.
Akibat kelelahan dan tak habis fikir, Puan lalu duduk di atas sebuah batu sambil merenung. “Wah, kalau tak berhasil lagi, aku akan jadi sangat malu dengan kawan-kawan yang sudah kusuruh menungguku,” gumamnya.
Ketika sedang termenung, lamat-lamat Puan mendengar suara wanita sedang tertawa-tawa dan bersenda-gurau. Dia lantas mencari arah suara tersebut. Dari arah barat terlihatlah olehnya pelangi yang indah menurun ke arah suatu tempat. Diam-diam, Puan pun mendekati arah pelangi dimana ada suara orang bersenda-gurau.
Ternyata setelah diperhatikannya melalui balik rumpun, terlihatlah tujuh orang wanita asyik bermain dan mandi di sebuah kolam yang berair jernih. Dari pembicaraan mereka, tahulah Puan Si Taddung kalau wanita-wanita itu adalah bidadari yang turun dari khayangan.
Diam-diam dia terus mendekati dan memperhatikan ke tujuh wanita tersebut. Akhirnya, Puan Si Taddung mengambil salah satu selendang yang tertumpuk di atas sebuah batu dan menyimpannya.
Ketika hari mulai senja, para bidadari ini bersiap hendak pulang. Tapi satu di antara ke tujuh bidadari tersebut jadi kebingungan karena selendangnya telah hilang. Sedang yang lain terpaksa pulang meninggalkannya karena hari sudah mulai petang. Mereka meminta agar bidadari yang tertinggal menunggu mereka sampai besok hari. Nanti mereka akan membawakan selendang agar si bidadari tersebut bisa pulang bersama mereka.
Bidadari yang tertinggal amatlah merasa takut karena ditinggal seorang diri. Saat itulah kesempatan Puan Si Taddung muncul. Ia mendekati sang bidadari yang tambah ketakutan melihat manusia menghampirinya.
“Janganlah engkau merasa takut wahai wanita peri. Aku tidak akan menyakitimu. Bahkan aku akan melindungi kamu dari berbagai bahaya yang mengancam keselamatanmu,“ ujar Puan Si Taddung meyakinkan si wanita tersebut. Setelah menghantui dengan berbagai cerita yang mengerikan Puan lalu membujuk agar si wanita mau ikut bersamanya ke kampung. Karena takut, akhirnya si bidadari yang mengaku bernama Putri Bungsu itu pun menuruti ajakan Puan Si Taddung.
Setelah sampai di kampung ramailah orang dan teman temannya menyambut kepulangan Si Puan. Mereka amat takjup akan kecantikan wanita bidadari ini. Oleh Puan, si wanita lalu dibawa pulang ke rumah dan setelah sebulan kemudian keduanya lalu dikawinkan oleh Petinggi Kampung Tanjung Batu. Hiduplah keduanya dalam kenikmatan dan kebahagiaan hingga mendapatkan seorang anak laki-laki hasil dari buah perkawinan mereka.
Pada suatu ketika, Puan Si Taddung dipanggil petinggi untuk menghadap di rumah laminnya. Di sini, ketika Puan Si Taddung datang telah berkumpul beberapa Petinggi dari pulau Derwan, Sangalaki, Pulau Panjang dan para petinggi dari pulau-pulau lainnya. Para petinggi ini menyampaikan kalau di daerah mereka saat itu sudah tidak lagi aman. Hal ini karena mereka selalu mendapat serangan dari bajak laut yang berkeliaran. Perampokan pada pulau-pulau hampir terjadi setiap minggu. Ini yang membuat mereka resah dan mencari cara untuk menghadapi para lanun tersebut.
Oleh kesepakatan dan pendapat dari Puan Si Taddung, akhirnya terbentuklah pasukan keamanan untuk mengamankan seluruh pulau dan daerah mereka. Pada setiap pulau diambil sepuluh orang pemuda gagah dan berani menjadi prajurit keamanan. Pada setiap hari pasukan tersebut selalu melakukan patroli di pulau-pulau tersebut.
Sedang pusat komando keamanan terletak di Kampung Tanjung Batu. Akhirnya dengan ketatnya pengawasan keamanan dan berkat keberanian para pemuda yang dipimpin oleh Puan Si Taddung, wilayah mereka pun menjadi aman dan tak lagi mendapat gangguan dari manapun. Dan, setelah keamanan benar-benar sudah terkuasai, maka para Petinggi ini bersepakat untuk menyelenggarakan selamatan dan tulak bala sekampung yang dipusatkan di Tanjung Batu.
Dalam kesempatan itu, baik petinggi petinggi pulau maupun petinggi Tanjung Batu sendiri, meminta agar pada upacara puncak selamatan dan pesta kampung isteri Puan Si Taddung yang katanya bidadari itu mau menarikan tarian bidadari. Hal tersebut disetujui oleh Puan Si Taddung tanpa terlebih dahulu meminta pendapat sang istri.
Begitu pulang, Puan lalu menceritakan semua rencana, termasuk tarian penutup pesta oleh istrinya. Sang istri sangat terkejut mendengar hal tersebut. “Kenapa kanda tidak memberitahukan hal tersebut kepadaku terlebih dahulu? Tarian itu adalah tarian yang tak sembarang boleh ditarikan. Tuhing bila itu dilakukan,” kata isterinya. Ia lantas memohon, agar rencana tersebut jangan sampai dilakukan.
Namun, Puan Si Taddung tak mau malu. Ia terus saja mendesak sang istri untuk melakukan tarian itu dengan alasan sudah terlanjur menyanggupinya permintaan para petinggi.
Sang istri akhirnya putus asa. Bidadari itu lantas bertanya, ”Apakah kanda tidak akan menyesal jika itu kulakukan?
“Apa yang harus disesalkan? Bukankah itu hanyalah sebuah tarian?” sahut Si Taddung   seolah tak mengerti.
”Tapi kanda, itu benar-benar tuhing (terlarang_red) untuk kulakukan. Ingatlah kanda, jangan karena tuhing itu kita langgar, akibatnya akan menyengsarakan kita,” ujar sang istri seolah memberi peringatan.
Sayang, Puan tak mau mengerti. Bahkan dengan nada kesal ia memaksa sang istri untuk melaksanakan permintaan tersebut. “Pokoknya adinda harus menari. Aku juga ingin melihatnya. Apaun resikonya, aku akan menanggung dan tidak akan menyesal,” pungkas si Puan sambil melangkah keluar rumah meninggalkan istirinya. Isterinya hanya terdiam melihat sang suami menjadi kesal.
Akhirnya, tibalah hari yang dinanti-nanti. Kampung menjadi ramai selama tujuh hari tujuh malam. Tepat pada hari ke tujuh, saat hampir memasuki tengah malam, acara penutup pun digelar. Masyarakat bergerombol ingin menyaksikan tarian bidadari yang yang belum pernah mereka lihat.
Setelah memakai serlendang yang selama ini disimpan oleh suaminya, Putri Bungsu mulai memasuki arena tarian. Dia lantas menunduk dan mengangkat sembah. Tiba-tiba entah dari mana, terdengar suara musik kelintangan (gamelan) yang kian lama kian terdengar nyaring. Putri Bungsu pun mulai menari.
Semua penonton amat terpesona melihat tarian tersebut. Terlebih Putri bungsu menari tidak hanya sendiri, tetapi didampingi oleh para penari yang entah dari mana pula datangnya. Kian lama tarian kian asik dan berputar-putar. Tak terasa si Putri Bungsu telah melayang layang bersama enam penari lainnya. Setelah cukup tinggi. Tiba-tiba musik berhenti dan si Bungsu masih terlihat melayang di udara.
Tiba-tiba, si Putri Bungsu berucap, “Suamiku, sesungguhnya aku amat mencintaimu. Apalagi kita juga sudah mempunyai anak. Tetapi karena tuhing yang kukatakan itu telah dilanggar, serta kanda menyatakan tidak akan menyesal, maka inilah akibatnya. Kita harus berpisah. Enam penari yang ada ini adalah saudara-saudaraku yang datang menjemput untuk membawaku pulang ke khayangan. Karena itu janganlah kanda sesali apa yang akan terjadi. Dinda hanya memohon agar jika anak kita hendak meminta susu, maka ambilkanlah air buah bunyut yang banyak terdapat di sekitar rumah kita. Berilah dia air bunyut tersebut sebagai pengganti susuku. Nah, selamat tinggallah kakanda, jagalah anak kita baik-baik.“
Setelah itu kembali terdengar suara musik. Para bidadari pun semangkin lama terbang makin tinggi hingga hilang dari pandangan mata. Seiring itu, tak lagi terdengar suara musik.
Puan Si Taddung menjadi gugup dan kaget. Dia tak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa memanggil-manggil nama siterinya yang sudah lenyap. Puan lalu menangis sejadi-jadinya. Tetapi apapun yang diperbuatnya sudah tak berarti. Yang tinggal hanyalah penyesalan atas  semua kesalahan yang telah dilakukannya

Kadrie Oening

Semangat dan kettegarannya telah menghantarkan Kota Samarinda menjadi sebuah daerah maju. Kadrie Oening memang patut menjadi teladan bagi para penyelenggara pemerintahan.

SEKITAR tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Poea Adi bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah (sekarang Samarinda Seberang_Red). Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Pilipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka.
Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai  Banjar dan suku lainnya.
Sedang Poea Adi diberi gelar Panglima Sepangan Pantai. Ia bertanggungjawab terhadap keamanan rakyat dan kampung-kampung sekitar sampai ke bagian muara Badak, Muara Pantuan dan sekitarnya.
Keputusan sidang kerajaan membuka Desa Sama Rendah memang jitu. Sejak saat itu, keamanan di sepanjang pantai dan jalur Mahakam menjadi kondusif. Tidak ada lagi bajak laut yang berani beraksi.
Dengan demikian, kapal-kapal dagang yang berlayar, baik dari Jawa maupun daerah lainnya bisa dengan aman memasuki Mahakam. Termasuk kapal-kapal pedagang Belanda dan Inggris. Mereka berlayar hingga ke pusat Kerajaan, di Tepian Pandan Tenggarong. Dengan demikian roda pemerintahan berjalan dengan baik serta kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat.
Sejarah terbukanya sebuah kampung yang menjadi kota besar, dikutip dari buku berbahasa Belanda dengan judul “Geschiedenis van Indonesie“ karangan de Graaf. Buku yang diterbitkan NV.Uitg.W.V.Hoeve, Den Haag, tahun 1949 ini juga menceritakan keberadaan Kota Samarinda yang diawali pembukaan perkampungan di Samarinda Seberang  yang dipimpin oleh Poea Adi.
Belanda yang mengikat perjanjian dengan kesultanan Kutai kian lama kian bertumbuh. Bahkan, secara perlahan Belanda menguasai perekonomian di daerah ini. Untuk  mengembangkan kegiatan perdagangannya, maka Belanda membuka perkampungan di Samarinda Seberang pada tahun  1730 atau 62 tahun setelah Poea Adi membangun Samarinda Seberang. Di situlah Belanda memusatkan perdagangannya.
Namun demikian, pembangunan Samarinda Seberang oleh Belanda juga atas ijin dari Sultan Kutai, mengingat kepentingan ekonomi dan pertahanan masyarakat di daerah tersebut. Apalagi, Belanda pada waktu itu juga menempatkan pasukan perangnya di daerah ini sehingga sangat menjamin keamanan bagi Kerajaan Kutai.
Samarinda berkembang terus dengan bertambahnya penduduk yang datang dari Jawa dan Sulawesi dalam kurun waku ratusan tahun. Bahkan sampai pada puncak kemerdekaan tahun 1945 hingga keruntuhan Orde Lama yang digantikan oleh Orde Baru, Samarinda terus ’disatroni’ pendatang dari luar Kaltim.
Waktu itu Tahun 1966 adalah peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru. Keadaan semuanya masih acak dan semberawut. Masalah keamanan rakyat  memang  terjamin dengan terbentuknya Hansip (Pertahanan Sipil) yang menggantikan OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat). Hansip mendukung keberadaan Polisi dan TNI.
Kendati terbilang maju pada zamannya, perubahan signifikan Kota Samarinda dimulai ketika Walikota Kadrie Oening diangkat dan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Surat Keputusan No.Pemda 7/ 67/14-239 tanggal 8 November 1967. Ia menggantikan Mayor Ngoedio yang kemudian bertugas sebagai pejabat tinggi pemerintahan Jawa Timur di Surabaya.
Kotamadya Samarinda pada tahun 1950 terbagi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda Ilir dan Samarinda Seberang. Luas wilayahnya saat itu hanya 167 km persegi. Kemudian pada tahun  1960 wilayah Samarinda diperluas menjadi 2.727 km meliputi daerah Kecamatan Palaran, Sanga Sanga, Muara Jawa dan Samboja. Namun belakangan, kembali terjadi perubahan. Kota Samarinda hanya tinggal Kecamatan Palaran, Samarinda Seberang, Samarinda, Ilir, Samarinda Ulu dan Samarinda Utara.
Sebelum dilantik sebagai Walikota, Kadrie Oening adalah salah seorang Wedana yang diperbantukan di Kotamadya Balikpapan. Ia juga pernah menjadi Camat Sangkulirang pada masa Orde Lama. Dalam pergerakan politik menjelang kemerdekaan, Kadrie Oening tidak banyak disebut. Tetapi bukan berarti dia tidak turut ambil bagian dalam sejarah perjuangan.
Kadrie Oening tercatat sebagai walikota sipil pertama. Dua walikota sebelumnya diangkat dari unsur militer, yaitu Kapten TNI AD Soejono dan Mayor TNI AD Ngoedio.
Peran Kadrie Oening selaku walikota memang tak bisa dipungkiri lagi.
Disana-sini dia mulai melakukan perubahan wajah kota. Yang pertama dia lakukan adalah pelebaran jalan-jalan dalam kota dan menata bangunan dan pembangunan.
Dulu, wajah kumuh dari berbagai bangunan kota serta jalan batu dan bopeng memang mewarnai kehidupan sehari-hari. Daerah kota yang kumuh ini dimalam hari menjadi tempat-tempat hiburan liar yang diwarnai  pelacuran dan pesta miras yang meresahkan masyarakat. Sering terjadi perkelahian akibat minuman beralkohol atau berebut Watunas. Watunas merupakan istilah dulu, yakni wanita tuna susila.
Kepemimpinan Kadrie Oening memang sangat berkesan. Dengar saja komentar Hermanto, yang kini menduduki jabatan Sekretaris DPRD Samarinda. “Beliau adalah seorang pemimpin yang patut ditelandani,“ ucap Hermanto ketika berbincang dengan BONGKAR! belum lama ini.
Semangat dan ketegaran Kadrie Oening dalam menata Kota Samarinda, menurut Hermanto belum ada yang menyamai. ”Waktu beliau jadi Walikota Samarinda, saya sudah bekerja. Saya masih ingat ketika beliau membentuk OK3 (Operasi Ketertiban Keamanan Kota) yang kemudian berubah menjadi Tibum dan terakhir disebut Satuan Polisi Pamong Praja (Sat pol PP). Saya sempat diberi tugas,” kenang Hermanto.
Waktu itu, katanya kondisi Kota Samarinda masih begitu rancu dan semberawut. Kadrie Oening selalu turun ke lapangan. ”Beliau tak perduli siang atau malam. Bahkan subuh sekalipun beliau akan memantau kota dengan berjalan kaki atau berkendaraan skuternya (kendaraan roda dua sejenis vespa),” ujar Sekwan.
Di mata Hermanto dan kawan-kawan seangkatannya, Kadrie Oening merupakan pelaku sejarah dalam peletakan dasar perubahan dan pembangunan Samarinda. Masih banyak yang dapat ditemui. Antara lain, perombakan dan pelebaran jalan kota, Bangunan THG yang sekarang menjadi Citra Niaga. Dia juga merancang dan salah seorang penggagas pembangunan Mesjid Raya Darussallam. Dia juga ’menghapus’ becak dari Samarinda sejak 1 Januari 1975, seperti yang tertuang dalam SK Walikotamadya Tk. II Samarinda No. 150 tahun 1974.
Kadrie juga merupakan salah satu konseptor Stadion Gelora Segiri, Jalan Kesuma Bangsa. Taman Makam Pahlawan yang tadinya berada di belakang hotel Virus, dipindahkan di Kesuma Bangsa, sehingga lokasinya dinilai lebih layak dan tertata rapi. Selain itu, dia pun merancang beberapa jembatan di Sungai Karang Mumus.
Dulu, kawasan Pasar Segiri masih berupa hutan rawa-rawa. Kadrie ini pula yang mau tinggal di kawasan tersebut. Padahal dia seorang walikota yang dipastikan bisa tinggal di tempat strategis atau bergengsi di mana saja.
Lokalisasi pelacuran, dulu masih berada dekat pusat keramaian sehingga campur baur dengan kehidupan masyarakat. Nah, Kadrie pula yang dengan tegas menggusur komplek pelacuran Pintu Lima dan memindahkannya ke pinggiran kota, yakni Kelurahan Air Hitam. Saat ini, bekas komplek pelacuran Pintu Lima di Jalan Dahlia itu diisi dengan perkantoran Pemkot Samarinda dan perumahan penduduk. ”Yang merancang dasar pembangunan Balaikota Samarinda sekarang ini, ya bapak Kadrie Oening itu,” timpal Hermanto.
Menurut Hermanto, masih banyak lagi yang sudah disumbangkan almarhum Kadrie Oening bagi pembangunan Kota Samarinda. Namun ia sangat menyayangkan, semenjak ia tak lagi menjabat, tak seorangpun yang terlihat peduli atau mengenang jasa-jasa almarhum.
”Paling tidak menjiarahi kuburan beliau sebagai penghormatan dan mengenang apa yang telah beliau lakukan untuk Samarinda,” ujar Hermanto agak menyindir para walikota pasca era Kadrie Oening.

Aji Raden Serif

Dia memilih bunuh diri ketimbang menyerahkan para kepala adat kepada tentara Jepang. Tindakan gagah beraninya itu mengobarkan semangat rakyat pedalaman Mahakam untuk melawan penjajah.
TAHUN 1945 merupakan saat-saat akhir kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur Raya melawan Sekutu. Menjelang kekalahan tersebut tentara Dai Nipon menjadi amat ganas dimana-mana. Mereka tak lagi mengenal berbagai aturan perang.
Saat itu, bagi Jepang tak ada tawanan yang boleh hidup. Baik sipil maupun militer sekutu, dibantai habis tanpa diadili.
Karena memegang tinggi harga diri, waktu itu tak seorangpun perwira Jepang yang dapat ditawan oleh sekutu. Tawanan sekutu pada umumnya hanyalah prajurit. Itupun kebanyakan bukan orang Jepang asli, melainkan orang-orang Korea dan Taiwan.
Para perwira Jepang jika kalah dalam suatu pertempuran, kebanyakan melakukan “harakiri“ atau bunuh diri di tempat tugasnya. Alasan tindakan itu, selain mereka yakin dengan kesucian pengabdiannya pada “tenohaika“ juga karena mereka tidak sudi disiksa dan dihukum mati tanpa perlawanan. Sehingga setelah usai perang para perwira Jepang tak banyak bersisa.
Pasukan Jepang dalam menaklukkan Asia Timur Raya, memang tidak berjalan dengan waktu lama. Dalam waktu hanya beberapa bulan saja mereka sudah mampu menaklukkan hampir secara keseluruhan, yang berujung di Indonesia dan Pilipina.
Menjelang kekalahan, balatentara Dai Nipon ini menderita kekurangan makanan akibat blokde Sekutu di berbagai daerah. Untuk tetap bisa bertahan hidup, mereka pun melakukan perampasan makanan milik rakyat dimana-mana.
Perampasan makanan ini juga sampai ke daerah pedalaman Mahakam Kalimantan Timur. Mereka menjarah ke berbagai pelosok dusun, hingga sampai ke perkampungan Dayak Benuaq di Tanjung Isuy, tepatnya di daerah Lamin Mancong.
Belakangan, masyarakat di Lamin Mancong sudah  tak mampu lagi memenuhi kewajiban menyerahkan hasil tanaman padi mereka pada tentara Jepang yang bermarkas di Muara Muntai. Rakyat di pedalaman Mahakam banyak yang jadi kelaparan karena semua hasil bumi mereka dirampas. Sadisnya, jika ada yang melawan, maka hukuman pancung pasti dijatuhan kepadanya.
Rakyat berurusan dengan tentara Jepang, jarang sekali terjadi. Dan, jika terjadi urusannya adalah mati. Begitulah yang dialami oleh berbagai lapisan masyarakat pada saat penjajahan  Jepang di Nusantara ini.
Daerah Lamin Mancong  keberadaannya di dalam alur sungai yang sekarang ini termasuk di wilayah Kecamatan Jempang dengan ibukotanya Tanjung Isuy. Tetapi pada waktu itu masih termasuk di dalam wilayah Kecamatan Muara Muntai. Antara Tanjung Isuy  dan Muara Muntai dipisahkan oleh luasnya Danau Jempang  yang dikelilingi pula oleh beberapa kampung Nelayan, seperti Jantur dan Kampung Aloh. Perkampungan ini  saling berhubungan melalui alur sungai dari Danau Jempang, Danau Semayang, Danau Melintang, hingga ke Kecamatan Kota Bangun.
Pada waktu itu pesawat bersampan milik pasukan sekutu sering  mendarat di atas danau Jempang, Danau Melintang dan Danau Semayang. Mereka sering mengadakan pertemuan-pertemuan dengan penduduk dan menyerukan perlawanan kepada pihak Jepang. Orang-orang Sekutu ini berjanji memberikan bantuan pangan dan senjata pada para penduduk tersebut.
Beberapa perkumpulan perlawanan dibentuk oleh para pemuda Mahakam secara diam-diam untuk melakukan perlawanan apabila pihak sekutu benar-benar membantu mereka dengan memberi senjata dan bantuan lainnya. Dengan kondisi memprihatinkan dan tak tahan lagi dengan perlakuan tentara Jepang yang kian ganas, orang-orang Lamin Mancong menolak memberikan hasil panen mereka pada pihak Jepang.
Penolakan ini membuat Jepang marah dan berusaha menangkapi para pemimpin suku yang membangkang dan melawan. Jepang lantas memerintahkan Aji Raden Serif –Kepala Penjawat (Camat) Kesultanan Kutai untuk pergi ke Mancong. Misi yang diberikan Jepang adalah membawa kepala adat suku Benuaq serta para petinggi (Kepala Kampung) ke Muara Muntai dengan dalih berunding.
Aji Raden Serif sangat paham kalau itu hanya sekedar akal bulus orang-orang Jepang. Kalau kepala adat dan petinggi sudah didapat, pastilah mereka akan dibunuh. Namun karena tak mampu berbuat apa-apa, A.R. Serif  terpaksa berangkat ke Mancong disertai dua orang Polisi Pamong Praja Kerajaan Kutai.
Setibanya di Mancong, A.R. Serif disambut dengan segala kehormatan oleh masyarakat dan kepala adat. Masalahnya, mereka adalah rakyat yang memang tunduk di bawah pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara
R.A. Serif lantas membicarakan masalah yang dihadapinya. Kepala Adat Mancong bernama Taman Poke pun memaklumi kesulitan tersebut. Apalagi dari mata-mata orang Dayak Mancong, dikabarkan kalau anak isteri dari Raden Serif sudah disandera oleh tentara Jepang. Tujuannya menekan A.R. Serif agar dapat memaksa Kepala Adat serta Petinggi Mancong ikut ke Muara Muntai.
Mendengar kabar itu, Aji Raden Serif bertambah bingung. Tak mungkin dia dapat memaksa Taman Poke atau kepala adat serta Petinggi Mancong. Kalau pun mereka mau, itu sama saja membunuh kedua orang tersebut melalui tentara Jepang.
Sedangkan keduanya adalah perangkat dan abdi dari Kerajaan Kutai juga. Apalagi pada dasarnya A.R.Serif memang tidak suka dengan keberadaan tentara Jepang. Namun, apapun alasannya dia tidak mampu berbuat apa-apa.
Sedangkan kalau AR Sherif pulang dengan tangan kosong, pihak Jepang akan membunuhnya dan membantai seluruh anggota keluarganya. Dalam keadaan sedemikian, AR Serif menjadi sangat kebingungan.
Oleh kepala adat Mancong, A.R. Serif diminta untuk tidak pulang ke Muara Muntai. Sang kepala adat juga berjanji akan mengirim beberapa orang andalannya untuk menculik dan menyelamatkan anak isteri Aji Raden Serif serta membawa mereka ke Mancong.
Namun demikian, Serif masih berpikir pula akan nasib rakyat Muara Muntai yang mungkin saja akan dibantai oleh orang-orang Jepang jika sampai terjadi penyelamatan atas anak isterinya oleh orang-orang Mancong. “Bukankah korban akan lebih banyak lagi?“ begitu pikir Serif. Rupanya ia merasa bertanggungjawab pula pada keselamatan penduduk.
Setelah beberapa hari di Mancong, suatu malam Serif diam-diam pergi ke suatu tempat. Di sana ia lalu melakukan bunuh diri. Sebilah mandau tajam dan beracun ia hujamkan ke dadanya hingga mengakhiri hidupnya.
Namun, tindakan Serif bukan tanpa alasan. Ia meninggalkan sepucuk surat yang ditujukan kepada masyarakat Muara Muntai, warga Mancong dan keluarganya. Dalam amanatnya dia meminta jenazahnya dibawa ke Muara Muntai dan diserahkan kepada keluarganya. Dalam sepucuk surat itu, Serif juga mengumandangkan kepada penduduk untuk melakukan perlawanan terhadap orang-orang Jepang sampai mereka terusir dari tanah Muara Muntai.
Ajaib, belum lagi genap empat puluh hari pasca tewasnya Aji Raden Serif, terjadi pertempuran dengan pihak Jepang di Muara Muntai. Masyarakat menyerang orang-orang Jepang dengan senjata apa adanya, seperti keris, mandau, parang dan tombak. Petempuran tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Muara Muntai saja, tetapi juga orang orang Dayak Benuaq dan Dayak Mahakam lainnya.
Jepang sama sekali tak mengira kalau rakyat Muara Muntai akan melakukan pemberontakan secara tiba-tiba. Beberapa pos penjagaan dan markas induk di Muara Muntai diserang dan dikuasai oleh penduduk.
Namun, Jepang cukup beruntung karena penduduk tak ada yang bisa menggunakan senjata api. Masyarakat ketika itu hanya mampu mempergunakan senjata tradisional sehingga serangan yang ditimbulkan tidak terlalu fatal.
Surat Raden Serif yang membakar semangat rakyat Muara Muntai dan sekitarnya memang sangat berpengaruh. Rakyat menjadi panas hati atas pengorbanan Serif yang dinilai sangat perduli kepada mereka. Untuk itu kenapa mereka harus berdiam diri dan tak tahu diri. “Dari pada mata berkalang putih, lebih baik mati tanpa kain putih.” Semboyan itulah yang membuat semangat rakyat berkobar melakukan perlawanan.
Walau sempat kalang-kabut, namun Jepang akhirnya mampu mengatasi situasi setelah mendatangkan bantuan markas mereka yang ada di Tenggarong. Banyak tentara Jepang yang tewas, walau di pihak rakyat juga tidak sedikit yang mati tertembus peluru.
Saat itu masyarakat sempat kecewa karena bantuan tentara sekutu yang diharapkan tak kunjung datang. Akhirnya mereka terpaksa tercerai-berai dan masuk ke dalam hutan untuk melakukan perlawanan secara bergeriliya.

Selasa, 11 Januari 2011

Pelarian Lima Pangeran

Pada tahun 1859 hingga 1863 Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari gencar dan sengit memerangi Belanda. Belanda kalang kabut, karena rakyat di hampir seluruh daerah Banjar bergolak melakukan perlawanan.
BELANDA mengajak melakukan perundingan secara damai, namun hal tersebut ditolak oleh para bangsawan Banjar yang didukung oleh orang-orang Dayak Kayan pedalaman - sekarang menjadi Kalimantan Tengah. Dengan semboyan ’Waja sampai Kaputing’, orang-orang Banjar melakukan perlawanan sengit terhadap Belanda.
Perang yang berlangsung selama empat tahun ini amat banyak merugikan pihak Belanda. Semua hasil bumi tak bisa dibeli. Belanda tetap kewalahan walau pasukan kompeni sudah didatangkan dari Jawa dan Makasar.
Perlawanan kaum pribumi terhadap Belanda bukan hanya terjadi di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Belanda juga harus menghadapi orang-orang Melayu dari Kerajaan Pontianak Kalimantan Barat yang memberontak.
Di Pontianak ini pula seluruh rakyat tak mau melakukan pembayaran pajak atau menyerahkan hasil bumi mereka pada Belanda. Lumbung-Lumbung milik Belanda dihancurkan dan dibakar sampai rata dengan tanah. Disinipun perlawanan terjadi baik di pusat kota kerajaan Pontianak maupun sampai di daerah pemukiman keturunan Cina dari suku “Khe“ yang berdiam di Singkawang maupun Sambas.
Orang-orang keturunan Cina baik di Sambas maupun Singkawang ini amat disegani dan ditakuti pihak Belanda. Sebab, mereka rata-rata berani dan pandai berkelahi. Dalam sejarah, hanya Raja Pontianaklah yang tak pernah menyerah dan tunduk kepada kerajaan Belanda hingga sampai pada perang kemerdekaan. Para Bangsawannya memang banyak yang gugur dan ditawan serta diasingkan oleh pihak Belanda. Namun demikian perlawanan tetap saja berjalan dimana-mana.
Begitu pula dengan kerabat bangsawan Banjar. Sekalipun perang dapat diselesaikan dengan menumpas dan menundukkan para pemberontak, tetapi kata-kata menyerah tak pernah terucap dari orang-orang Banjar. “Kalah berperang bukan berarti menyerah,” begitu ucap Pangeran Antasari ketika tertawan oleh pihak Belanda.
Sekalipun laskar Pangeran Antasari sudah dapat dikalahkan, namun perlawanan tetap saja ada dimana-mana sekalipun secara kecil-kecilan. Pihak Belanda amat jarang dapat bertahan lama di daerah Rantau, Kandangan dan Amuntai. Masalahnya diketiga daerah ini perlawanan terjadi bagai berperang dengan “ hantu “.
Dalam menghadapi perang Banjar ini, Belanda terpaksa meminta bantuan tambahan yang lebih besar dari Surabaya atau Jawa Timur. Kekuatan pun berlipat ganda dengan persenjataan yang lengkap sehingga dapat menumpas para pejuang Banjar.
Dalam keadaan terjepit Pangeran Ardi, yang berkedudukan di Banjarmasin, Pangeran Singa Menteri, di daerah Rantau, Pangeran Nata, di Amuntai, Pangeran Surya Nata, di Kandangan, Pangeran Permata Sari, di Tanjung Tabalong, keadaan mereka kian lama kian terdesak atas pendudukan tentara Belanda yang berkekuatan sangat besar serta mendirikan benteng-benteng penumpasan pada setiap perlawanan. Siapapun yang tertangkap tak ampun langsung dihukum mati.
Karenanya untuk menghindari penangkapan ini kelima Pangeran ini memutuskan untuk meminta perlindungan pada pihak Kerajaan Kutai di Tenggarong. Mereka lalu berangkat menuju daerah Kutai dan memasuki sungai Mahakam hingga sampai ke daerah Muara Pahu sebuah kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan Kutai yang dirajai Raden Mara  Jelau – Keturunan dari Raden Baroh.
Namun karena kerajaan Kutai Ing Matadipura sudah tunduk dan mengakui kedaulatan Kerajaan Belanda atas kerajaannya, maka Sultan Aji Muhammad Sulaiman, memerintahkan agar kelima Pangeran Banjar tersebut menghadap ke Tenggarong. Dalam putusan, Pangeran Ardi diserahkan kepada Belanda di Banjarmasin karena dianggap sebagai biang pemberontakan, selain Pangeran Antasari.
Pangeran Ardi yang diserahkan kepada Belanda, di Banjarmasin akhirnya meninggal dunia di dalam tahanan. Kematian Pangeran Ardi ini menimbulkan cerita simpang siur. Ada yang mengatakan dibunuh dalam tahanan, ada pula yang mengatakan dibuang keluar Kalimantan.
Namun ada pula yang mengatakan Pangeran Ardi meninggal karena sakit. Tapi, ada pula cerita yang mengatakan kalau Pangeran Ardi ini menghilang  entah kemana. Kalau si Pangeran tewas, tentu ada kuburnya? Namun hingga sekarang tak jelas dimana makamnya atau keberadaannya.
Ada pula cerita lain yang mengatakan kalau Pangeran Ardi diloloskan dari tahanan oleh seseorang dari pihak militer Belanda yang bersimpati kepada sang pejuang tersebut. Dikatakan Pangeran Ardi dilarikan ke daerah kerajaan Serawak dan mendapat perlindungan penuh dari Raja Serawak. Pangeran Ardi berganti nama dan berketurunan hingga anak cucu serta menetap hingga akhir hayatnya di Kerajaan Serawak.
Di lain pihak, Pangeran Nata diberi suaka untuk membantu penjawat Kerajaan di Muara Pahu sedang tiga Pangeran lainnya menetap di Tenggarong atas jaminan dan perlindungan Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Salah satu dari ketiga Pangeran ini juga beranak cucu di Kerajaan Kutai. Salah satu keturunannya menjadi kepercayaan sultan dan diberi gelar Panglima Katoeng, dengan wilayah kekuasaannya di daerah Loa Kulu. Sayangnya garis keturunan yang mana dari ketiga pangeran tersebut yang menurunkan “Panglima Katoeng.” dimaksud, kepastiannya jadi tak jelas.
Sedang para pengikut kelima Pangeran Banjar diperbolehkan pula tinggal di daerah Kutai yang keturunannya hingga kini menyebar di daerah  Danau Semayang, Muara Muntai, Muara Pahu, Danau Jempang, Danau Melintang dan Kota Bangun dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan dan petani.

Asal Usul Kalung Uncal

Kalung “Uncal“ yang berada di keluarga Bangsawan Kutai Kartanegara merupakan sebuah benda pusaka turun menurun yang dipergunakan jika hendak melakukan penobatan Raja.
 KALUNG Uncal tersebut merupakan kelengkapan utama selain Mahkota emas yang bertatah permata tak ternilai. Namun demikian konon cerita kalung Uncal ini jauh usianya lebih tua dari pada Mahkota Raja. Sedang kalung Uncal itu sendiri tadinya bukanlah milik dari kerajaan Kutai tetapi adalah milik dari kerajaan Martadipura - kerajaannya Sang Mulawarman.
 Menurut cerita, kalung Uncal ini dibawa langsung oleh pendiri kerajaan Martadipura yaitu sang ratu “Kudungga“. Namun karena kalah berperang dengan pihak kerajaan Kutai maka kalung tersebut jatuh menjadi milik Kerajaan Kutai  yang pada waktu itu berkedudukan di Jembayan, dengan rajanya yang bernama Pangeran Sinum Panji Mendapa, yang berdiri pada abat ke-17. Sedang kerajaan Martadipura  atau kerajaannya Mulawarman berkedudukan di Muara Kaman yaitu bagian hulu dari kerajaan Kutai.
Peperangan terjadi antara kedua belah pihak, bertolak dari masalah kekayaan hasil bumi dan alam yang dimiliki pihak kerajaan Martadipura. Sedang pihak Kerajaan Kutai hanyalah sebagai kerajaan Bandar atau pusat perdagangan dari hasil bumi pihak Martadipura yang ketika itu dirajai oleh tiga bersaudara yaitu, Darmasetya, Satiayuda,dan Satyaguna. 
 Awalnya pihak Kutai mengajak agar kedua kerajaan dijadikan satu saja dengan pemerintahan bersama. Sebenarnya kedua raja yang memang bersahabat setuju dengan rencana tersebut. Tetapi banyak bangsawan dari kedua pihak yang tak setuju sehingga terjadi salah paham yang akhirnya terjerumus pada peperangan.
 Kerajaan Martadipura berdiri jauh sebelum kerajaan Kutai ada. Yaitu sekitar abab ke 4 dengan raja pertama adalah Ratu Kudungga yang kemudian menurunkan Raja Mulawarman, Sri Warman, Maha Wijaya Warman, Gaya Yana Warman, Wijaya Tungga Warman, Nala Singa Warman, Jaya naga Warman, Nala Perana Warman Dewa, Gadingga Warman Dewa, Indra Warman Dewa, Sanga Warman Dewa, Singa Wargala Warman Dewa, Cendra Warman, Prabu Kula Tunggal Dewa,Nala Indra Dewa, Indra Mulia Warman Tungga, Sri Langka Dewa, Guna Prana Tungga, Wijaya Warman, Indra Mulia Warman, dan  yang terakhir adalah Darmasetya, Satiayuda, serta Satyaguna. Dengan jumlah seluruhnya sebanyak 21 raja yang memerintah Martadipura.
Namun dari keduapuluh satu raja tersebut yang paling terkenal adalah Maha Raja Mulawarman yang terkenal bijak dan memiliki pengaruh sampai ke negeri Cina dan India. Waktu itu Kerajaan Mulawarman sangat terkenal makmur dan berjaya dengan hasil dagang yang berlimpah ruah sehingga banyak prasasti yang ditinggalkannya hingga kini tentang masa kejayaannya..

Kalung Uncal yang ada pada ratu Kudungga itu sendiri ceritanya berasal dari India milik dari Dewi Sinta isteri dari Sri Rama. Kalung Uncal tersebut tidak hanya satu, tetapi ada sepasang. Kalung Uncal yang lebih besar dipakai oleh Sri Rama yang hingga sekarang masih ada di India. Sedang kalung Uncal yang sedikit lebih kecil itu adalah milik Dewi Sinta isteri Sri Rama raja Dari Ayodhiapala.

Kalung Dewi Sinta terlepas dan jatuh di hutan dan ditemukan oleh seorang Resi yang menurunkan Ratu Kudungga. Lepasnya kalung tersebut ketika Dewi Sinta dilarikan oleh Rahwana si Raja Alengkadirja. Peperangan terjadi antara Sri Rama dan Rahwana yang berakhir dengan tewasnya si Rahwana. Namun demikian, kalung Uncal tersebut walau telah dicari kemana mana tak pernah ditemukan.

Dalam hikayat kalung Uncal tersebut adalah milik dari Batara Wisnu dan isterinya yaitu seorang dewa dari kayangan yang menjadi salah seorang sembahan kepercayaan dalam agama Hindu India. Kalung tersebut diturunkan pada Sri Rama dan isterinya karena suami isteri ini adalah merupakan reinkarnasi dari dewa dewi Wisnu tersebut.

Ketika Sri Rama dapat merebut kembali Dewi Sinta isterinya dia meragukan apakah isterinya masih suci dan tidak diganggu oleh Rahwana. Kecurigaannya ini cukup beralasan karena kalung Uncal lambang kesucian itu telah hilang dari leher Dewi Sinta.

Dewi Sinta memaklumi keraguan dari suaminya Sri Rama. Walau kalung Uncal tersebut telah hilang dari dirinya, dia masih suci. Karenanya untuk membuktikan kesuciannya, dia minta agar dibuatkan api unggun sebesar besarnya untuk dia membakar diri sebagai bukti kalau dia masih suci. Kalau dia sudah ternoda maka katanya dia akan mati ditelan Dewi Agni ( Dewa Api ).

Apa yang dimintanya disediakan oleh rakyat Ayodiapala. Tepat harinya api dinyalakan dihadapan Sri Rama dan para pembesar kerajaan Ayodiapala, Sinta pun mulai menaiki tangga menara yang disediakan. Sampai di atas menara Sinta berkata “Kanda Rama, sekalipun kalung Uncalku telah hilang aku tetap suci. Dan kalau sudah ternoda maka aku akan hangus dibakar oleh Dewi Agni. Namun jika tidak, kanda akan melihat aku kembali kepada kanda“.
Setelah berkata demikian, Dewi Sinta lalu terjun memasuki api yang berkobar. Sinta ditelan api hingga tak terlihat. Namun tak lama kemudian, dari dalam api muncullah sebuah singgasana  yang naik secara perlahan lahan  dan berhenti di depan Sri Rama. Ternyata di atas singgasana tersebut terlihat Dewi Sinta duduk sambil tersenyum memandang suaminya sang Sri Rama.  

Kalung tersebut diketahui telah menjadi milik Ratu Kudungga yang menjadi raja jauh dari negeri asalnya India. Menurut cerita ,kalau kalung tersebut belum menyatu atau kembali berdampingan, maka selama itu pula India tak pernah tenteram, damai dan makmur. Bencana selalu melanda negeri tersebut. Kelaparan, kemiskinan serta peperangan tak akan berhenti bagaimanapun juga. Demikian menurut kepercayaan kalangan masyarakat India.

Dilain pihak kalung “Uncal“ tersebut adalah merupakan kekayaan dan milik Negara Indonesia. Soal benar tidaknya cerita tentang malapetaka yang melanda India karena kalung tersebut tak bersatu, terserah bagi mereka yang menilai. Namun jika benar kalung tersebut adalah milik Dewi Sinta, sudah tentu harga atau nilainya tak dapat diukur dengan apapun. Tetapi semua itu hanyalah suatu legenda tentang asal usul kalung Uncal yang berkaitan  dengan Sri Rama, sebagaimana legenda dunia tentang Ramayana. Wallahhu’allam.

Cerita Tentang Hantu Hutan Kaltim




Kalimantan Timur yang luas wilayahnya satu setengah kali Pulau Jawa, adalah sebuah kawasan yang berpenduduk sangat sedikit dari daerah pulau pulau lain di Indonesia. Tentu daratan ini memiliki hutan yang sangat luas. Dalam sebuah desa atau dusun ada yang hanya berpenduduk paling banyak dua puluh jiwa.

Walau hutan hutan di Kalimantan Timur telah porak poranda akibat illegal logging dan ’banjir kap’ sejak tahun 70-an yang dilakukan berbagai perusahaan kayu, tetap saja hutan hutan ini tak pernah habis. Kerusakan ekosistim akibat pembabatan memang ada, namun tak banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat pedalaman yang tinggal diberbagai pelosok desa atau dusun.

Pada waktu tahun-tahun 70-an ke bawah, hutan di Kaltim sangat kaya dengan hasil hutan ikutan seperti damar dan rotan. Belum lagi hasil yang terkandung di dalam buminya. Dan setiap hutan sudah tentu ada penunggu atau penghuni yang tak terlihat, dengan sebutan lain kalau bukan orang Gaib atau Bunian, pastilah disebut “Hantu Hutan”. Begitulah kepercayaan masyarakat yang berdiam di daerah pedalaman  yang hingga sampai saat sekarang  masih sering menjadi buah bibir.

Kalau yang disebut orang bunian atau orang gaib hanyalah satu. Tetapi kalau yang disebut hantu, sangatlah banyak dan beragam. Ada Hantu Orang, yang kalau berjalan  dengan rambut terurai ke depan menutupi wajahnya. Ada Hantu Kuyang, yang kerjanya mengincar orang beranak atau mati muda.

Hantu yang satu ini senang mengisap darah orang yang hendak melahirkan atau memakan mayat wanita muda yang meninggal karena melahirkan. Ada Hantu Penanggalanan. Hantu yang satu ini berbentuk kepala tanpa badan dan terbang ke sana ke mari dengan incaran yang sama seperti Hantu Kuyang. Bedanya dia dapat bepergian jauh dengan kepalanya yang bisa terbang.

Ada lagi yang disebut Hantu Bangsi. Hantu ini keberadaannya di dalam hutan dan berbentuk wanita menggendong anak memburu siapapun yang bisa jadi mangsanya. Anak yang digendongnya masih dengan tali pusar yang terjulur dari kemaluan hingga ke pusar si anak yang digendong. Hantu ini memberi tanda pada mangsanya yaitu dengan setumpuk bercak bercak darah di atas tanah sebanyak tujuh tumpuk.

Jadi siapapun yang menemukan bercak darah tersebut jika tak cepat kembali, atau terus berjalan hingga ketumpukan yang ke tujuh, maka jadilah dia korban si hantu. Anak bayi yang digendong dilemparkannya ke arah korban. Anak tersebut langsung melengket dan mengisap darah korban dengan darah yang disalurkan melalui tali pusar kepada ibunya. Korban akan mati kehabisan darah dengan sangat mengerikan karena selain kehabisan darah korban bagai mengering keriput seperti mayat yang dikeringkan. 

Ada  lagi yang disebut Hantu Kesot. Hantu ini tidak berjalan dengan kakinya tetapi dia berjalan dengan pantat yang dikesotkan di atas tanah. Hantu ini kebanyakan menunggu mangsa yang lewat ditempat dia tinggal. Sasarannya bukan hanya manusia tetapi juga binatang seperti rusa dan babi.
Dia baru pindah dari tempatnya ke tempat yang baru jika sudah dapat mangsa. Tetapi jika belum selama itu pula dia berada di sana. Bentuknya seperti Orang Hutan, tetapi dia bisa tak terlihat dan mampu mempengaruhi mangsa agar mendekat kepadanya.
Ini kata cerita, namun ada pula yang mengatakan Hantu Kesot ini adalah Orang Utan yang sudah tua dan tak lagi mampu berjalan sehingga dia hanya menanti mangsa yang melaluinya. Namun jika benar mahluk tersebut adalah orang utan yang telah ketuaan, tentu jika dia mati ada yang pernah menemukan bangkainya. Benar tidaknya hingga sampai sekarang tak ada yang pasti mengetahuinya.   

Masih lagi cerita tentang hantu. Kali ini ada yang disebut Hantu Lungun. (Lungun adalah semacam peti mati suku Dayak pedalaman yang masih menganut agama kepercayaan). Ceritanya jika ada orang yang meninggal, mayatnya dimasukkan ke dalam Lungun tersebut yang kemudian ditaruh bersandar pada sebatang pohon besar, tidak dikebumikan seperti orang yang sudah memeluk agama Islam atau Kristen.

Lungun tersebut tidak selamanya berada di tempat itu. Pada waktunya Lungun tersebut dibawa dan dikuburkan pada suatu lubang di tebing pinggir gunung. Kalau orang lagi bernasib sial, dia bisa berjumpa dengan hantu Lungun ini. Tetapi bukan berarti yang jadi hantu adalah orang mati yang dibuat ke dalam Lungun tersebut.

Hantu yang disebut hantu Lungun ini akan mengejar mangsanya dengan jalan seperti bertumbang lesung. Korban yang dikejar akan ditimpa peti Lungun tersebut hingga tewas. Tentu saja tewas, karena yang menimpa adalah Lungun yang terbuat dari sebatang  kayu yang cukup berat.

Ada lagi cerita lain tentang hantu hutan di Kalimantan Timur. Hantu yang satu ini bukanlah hantu pemangsa manusia. Tetapi hantu yang satu ini adalah hantu nakal yang kerjanya mengganggu dan menyesatkan manusia jika berada di dalam hutan. Menurut cerita orang yang pernah bertemu, hantu tersebut amatlah kecil bagai anak anak yang baru berumur lima tahun, namun wajah mereka tua-tua dan kebanyakan berambut merah.

Namun ada pula yang mengatakan kalau Hantu yang disebut “Belau“ ini bukanlah hantu. Tetapi bisa disebut  manusia kerdil yang sangat liar. Kerjanya bermain di pinggiran sungai sambil mencari ikan sebagai makanan pokoknya. Dalam bahasa pedalaman “Belau“ itu adalah arti dari sebutan kata liar.

Kesukaan hantu Belau ini menyesatkan orang yang berjalan di dalam hutan. Apalagi kalau si orang tersebut memang sesat. Orang tersebut tambah disesatkan ke arah berlawanan dari asal datangnya. Sering Belau ini meniru suara seseorang dengan menyahuti jika orang yang tersesat memanggil-manggil nama temannya yang terpisah.

Makin sering memanggil dan berteriak. Belau pun makin sering menyahut dan meminta agar menyusuri arah suara sehingga orang yang tersesat tambah sesat dan berhari-hari berputar di situ situ saja.

Menurut cerita, kalau di pinggiran sungai yang berpasir banyak terdapat jejak kaki seperti anak-anak, maka dapat dipastikan jejak tersebut adalah jejak kaki Hantu Belau tersebut. Apalagi jeriji telapak kakinya hanya ada empat jari saja.

Nah hal ini hanyalah merupakan petunjuk kalau sekali waktu memasuki hutan. Jika tersesat jangan berteriak supaya tidak disesatkan oleh Hantu nakal yang bernama Belau ini. Namun kalau ingin mencoba, silakan masukilah hutan di pedalaman, siapa tahu dapat pengalaman dan bertemu dengan manusia atau  hantu yang disebut “ Belau “.

Sekelumit Dari Perang Banjar

Pada tahun 1859 hingga tahun 1863 perang Kerajaan Banjar melawan Belanda berlangsung sengit hingga  berjalan selama empat tahun. Perang Banjar ini dipimpin oleh Pangeran Antasari yang membuat Belanda kalang kabut, karena hampir di seluruh daerah Banjar bergolak melakukan perlawanan.

PIHAK Belanda mengajak melakukan perundingan secara damai, namun hal tersebut ditolak oleh para bangsawan Banjar yang didukung oleh orang orang Dayak Kayan pedalaman yang sekarang menjadi Kalimantan Tengah.
“Waja sampai Kaputing“. Itulah  semboyan orang-orang Banjar dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perang yang berlangsung selama empat tahun ini amat banyak merugikan pihak Belanda. Semua hasil bumi tak bisa dibeli. Walau pasukan Belanda didatangkan dari Jawa dan Makasar.

Perlawanan kaum pribumi terhadap Belanda bukan hanya terjadi di Banjarmasin Kalimantan Selatan, tetapi juga Belanda harus menghadapi  pula orang-orang Melayu dari Kerajaan Pontianak Kalimantan Barat yang memberontak.

Di Pontianak ini seluruh rakyat tak mau melakukan pembayaran pajak dan menyerahkan hasil bumi mereka pada Belanda. Lumbung-Lumbung milik Belanda dihancurkan dan dibakar sampai rata dengan tanah. Disinipun perlawanan terjadi baik di pusat kota kerajaan Pontianak maupun sampai di daerah pemukiman keturunan Cina dari suku “Khe“ yang berdiam di Singkawang maupun Sambas.

Orang-orang keturunan Cina baik di Sambas maupun Singkawang ini amat disegani dan ditakuti pihak Belanda. Rata-rata orang keturunan Cina tersebut selain berani juga pandai berkelahi. Dalam sejarah, hanya Raja Pontianaklah yang tak pernah menyerah dan tunduk kepada kerajaan Belanda hingga sampai pada perang kemerdekaan. Para Bangsawannya memang banyak yang gugur dan ditawan serta diasingkan oleh pihak Belanda. Namun demikian perlawanan tetap saja berjalan dimana-mana.

Begitu pula dengan kerabat bangsawan Banjar. Sekalipun perang dapat diselesaikan dengan menumpas dan menundukkan para pemberontak, tetapi kata-kata menyerah tak pernah terucap dari orang-orang Banjar. “Kalah berperang bukan berarti menyerah,” begitu ucap Pangeran Antasari ketika tertawan oleh pihak Belanda.

Sekalipun laskar Pangeran Antasari sudah  dapat dikalahkan, namun perlawanan tetap saja ada dimana-mana sekalipun secara kecil-kecilan. Pihak Belanda amat jarang dapat bertahan lama di daerah Rantau, Kandangan dan Amuntai. Masalahnya diketiga daerah ini perlawanan terjadi bagai berperang dengan “ hantu “.

Dalam menghadapi perang Banjar ini,  walau Belanda telah didukung oleh pasukan dari Makassar dan Balikpapan. Terpaksa meminta bantuan tambahan yang lebih besar dari Surabaya atau Jawa Timur. Kekuatan pun berlipat ganda dengan persenjataan yang lengkap sehingga dapat menumpas para pejuang Banjar.

Dalam keadaan terjepit Pangeran Ardi, yang berkedudukan di Banjarmasin, Pangeran Singa Menteri, di daerah Rantau, Pangeran Nata, di Amuntai, Pangeran Surya Nata, di Kandangan, Pangeran Permata Sari, di Tanjung Tabalong, keadaan mereka kian lama kian terdesak  atas pendudukan tentara Belanda yang  berkekuatan sangat besar serta mendirikan benteng-benteng penumpasan pada setiap perlawanan. Siapapun yang tertangkap tak ampun langsung dihukum mati.   
Karenanya, untuk menghindari penangkapan ini disamping melemahnya perlawanan terhadap Belanda maka kelima Pangeran ini memutuskan untuk meminta perlindungan pada pihak Kerajaan Kutai di Tenggarong.
Mereka lalu berangkat menuju daerah Kutai dan memasuki sungai Mahakam hingga sampai ke daerah Muara Pahu sebuah kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan Kutai yang dirajai “ Raden Mara  Jelau.” Keturunan dari Raden Baroh.
Namun karena kerajaan Kutai Ing Matadipura sudah tunduk dan mengakui kedaulatan Kerajaan Belanda atas kerajaannya, maka Sultan Aji Muhammad Sulaiman, memerintahkan agar kelima Pangeran Banjar tersebut menghadap ke Tenggarong. Dalam putusan, Pangeran Ardi diserahkan kepada Belanda di Banjarmasin  karena dianggap sebagai biang pemberontakan di samping Pangeran Antasari.

Pangeran Ardi yang diserahkan kepada Belanda, di Banjarmasin akhirnya meninggal dunia di dalam tahanan. Kematian Pangeran Ardi ini menimbulkan cerita simpang siur. Ada yang mengatakan dibunuh dalam tahanan, ada pula yang mengatakan  dibuang keluar Kalimantan.  Tetapi ada pula yang mengatakan Pangeran Ardi meninggal karena sakit. Namun demikian ada pula cerita yang mengatakan kalau Pangeran Ardi ini menghilang  entah kemana. Kalau si Pangeran tewas, tentu ada kuburnya?  Namun hingga sekarang tak jelas dimana makamnya atau keberadaannya.

Ada pula cerita lain yang mengatakan kalau Pangeran Ardi setelah dimasukan ke dalam tahanan ternyata diloloskan oleh seseorang dari pihak militer Belanda yang bersimpati kepada Pangeran Ardi. Dikatakan Pangeran Ardi dilarikan ke daerah kerajaan Serawak dan mendapat perlindungan penuh dari Raja Serawak. Pangeran Ardi berganti nama dan berketurunan hingga anak cucu serta menetap hingga akhir hayatnya di Kerajaan Serawak.

Di lain pihak, Pangeran Nata diberi suaka untuk membantu penjawat Kerajaan di Muara Pahu sedang tiga Pangeran lainnya  menetap di Tenggarong atas jaminan dan perlindungan Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Salah satu dari ketiga Pangeran ini juga beranak cucu di Kerajaan Kutai, salah satu diantaranya menjadi kepercayaan sultan yang memberi gelar kepada keturunan tersebut dengan gelar “Panglima Katoeng“ dengan wilayah kekuasaannya di daerah “ Loa Kulu“. Sayangnya garis keturunan yang mana dari ketiga pangeran tersebut yang menurunkan “Panglima Katoeng.” dimaksud. kepastiannya jadi tak jelas.

Sedang para pengikut kelima Pangeran Banjar diperbolehkan pula tinggal di daerah Kutai yang keturunannya hingga kini menyebar di daerah  Danau Semayang, Muara Muntai, Muara Pahu, Danau Jempang, Danau Melintang, dan Kota Bangun.dengan mata pencarian utama adalah sebagai nelayan dan petani

Dayak Punan

Orang yang disebut Dayak itu hanyalah ada di Kalimantan, sedang kenapa mereka disebut Dayak atau “Orang Dayak“  dalam bahasa Kalimantan secara umum berarti “Orang Pedalaman“ yang jauh dan terlepas dari kehidupan kota.
DULUNYA memang begitu. Di mana-mana ada perkampungan suku dayak. Mereka selalu berpindah ke satu daerah lain, jika di mana mereka tinggal itu ada orang dari suku lain yang juga tinggal atau membuka perkampungan di dekat wilayah tinggal mereka.
Disebut ‘Dayak’ berarti tidaklah hanya untuk satu suku, melainkan bermacam-macam seperti Suku Dayak Kenyah, Suku Dayak Hiban, Suku Dayak Tunjung, Suku Dayak Bahau, Suku Dayak Benua, Dayak Basaf, dan Dayak Punan yang masih pula disertai puluhan “Uma “ (anak suku) dan tersebar diberbagai wilayah Kalimantan.
Pada kurun waktu sebelum abad 20, secara keseluruhan Suku Dayak ini tak mengenal agama Kristen dan Islam. Yang ada pada mereka hanyalah kepercayaan pada leluhur, binatang-binatang, batu batuan, serta isyarat alam pembawaan kepercayaan Hindu kuno.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari mereka mempercayai berbagai pantangan yang  tandanya diberikan oleh alam. Pantangan dalam kehidupan masyarakat Dayak hanya ada dua. Yaitu pantangan yang membawa kebebasan sehingga populasi mereka bertambah banyak dan ada pula karena pantangan berakibat populasi mereka semakin sedikit dan kini malah hampir punah.
Seperti misal kehidupan yang tak boleh berbaur dengan masyarakat lain dari suku mereka. Pantangan ini membuat mereka selalu hidup tak tenang dan selalu berpindah pindah. Sehingga kehidupan mereka tak pernah maju bahkan cendrung tambah primitif. Misalnya saja seperti Suku Dayak Punan. Suku yang satu ini sulit berkomunikasi dengan masyarakat umum. Kebanyakan mereka tinggal di hutan hutan lebat, di dalam goa-goa batu dan pegunungan yang sulit dijangkau.
Sebenarnya hal tersebut bukanlah kesalahan mereka. Namun karena budaya pantangan leluhur yang tak berani mereka langgar terjadilah keadaan demikian. Hal ini sebenarnya adalah kesalahan dari leluhur mereka .
Dalam riwayat atau cerita, leluhur mereka ini asal-usulnya datang dari negeri yang bernama “Yunan “  sebuah daerah dari daratan Cina. Mereka berasal dari keluarga salah satu kerajaan Cina yang kalah berperang yang kemudian lari bersama perahu-perahu, sehingga sampai ke tanah Pulau Kalimantan. Karena merasa aman, mereka lalu menetap di daratan tersebut.
Walau demikian, mungkin akibat trauma peperangan, mereka takut bertemu dengan kelompok masyarakat manapun. Mereka kuatir pembantaian dan peperangan terulang kembali sehingga mereka bisa habis atau punah tak bersisa. Karena itulah oleh para leluhur mereka dilakukan pelarangan dan pantangan bertemu dengan orang yang bukan dari kalangan mereka.
Memang pada Abad ke 13, daratan Cina penuh dengan pertikaian dan peperangan antara raja-raja yang berkuasa untuk menentukan salah satu kerajaan besar yang menguasai seluruh daratan Cina. Karena saling tak mengalah, maka terjadilah peperangan sesama mereka untuk menentukan kerajaan mana yang paling besar dan menguasai seluruh daratan Cina itu.    
Dayak Punan bermukim di daerah Bulungan yang kebanyakan tinggal di kawasan Kecamatan Pujungan (Long Sule) Kecamatan  Lumbis dan Long Peso. Mereka terbagi dari 20 (Uma) dari Punan Basaf, Punan Berusu, Punan Bukat, dan Punan Ot. Secara umum mereka ini agak primitive dengan tinggal di goa-goa anak anak sungai dan lain sebagainya, tanpa memakai baju atau bisa disebut setengah telanjang.
Keadaan hidup primitif ini membawa mereka selalu berpindah pindah dari satu tempat ke lain tempat dan terus menghindar dari kelompok manusia lain. Dalam kepercayaan mereka para leluhur lah yang menghendaki demikian. Dengan banyak tanda yang diberikan semisal ada diantara mereka yang meninggal. Setelah dikubur, serentak mereka berpindah menuju daerah lain. Mereka sangat percaya kalau roh yang meninggal akan bergentayangan membuat mereka tak akan merasa tenteram.
Warga Punan ini disebut juga warga pengembara dan hidup dalam satu kelompok tanpa berpisah pisah. Dalam keseharian jika ada di antara wanita dan pria yang saling suka, mereka melakukan hubungan intim di dalam hutan. Begitu juga dengan tradisi melahirkan, jika ada yang hamil tua dan mau melahirkan wanita tersebut dibawa ke dalam hutan atau tepi sungai untuk melahirkan bayinya.
Dari keseluruhan Suku Dayak, orang Punan inilah yang paling terbelakang baik budaya maupun kehidupan mereka. Namun demikian dalam keseharian mereka selalu waspada dan siap berkelahi dengan siapapun, termasuk binatang-binatang ganas di dalam hutan. Tradisi siap tempur ini diwarisi semenjak nenek moyang mereka sebagaimana diceritakan di atas tadi. Mereka memiliki ilmu bela diri yang sangat tangguh dan berbeda dengan ilmu bela diri secara umum yang ada di masyarakat. Mungkin ilmu bela diri yang mereka miliki adalah ilmu yang mereka bawa dari daratan Cina asal-usul leluhur mereka.
Orang-orang Punan ini juga memiliki kelebihan dengan penciuman mereka. Mereka tahu ada sesuatu melalui arah bertiupnya angin. Hebatnya mereka bisa membedakan bau manusia, dan binatang binatang dengan jarak yang cukup jauh. Walaupun dalam kondisi apapun mereka tahu kalau bau binatang atau manusia yang tercium membahayakan mereka.
Mereka juga senang dengan makanan yang masih mentah seperti sayur sayuran hutan yang berasal dari pohon nibung atau banding (teras dala). Begitu pula dengan daun pakis, atau labu hutan yang memang banyak terdapat. Soal beras tak terlalu perlu bagi mereka. Makanan utama mereka adalah umbi dan umbut umbutan hutan, ditambah dengan daging buruan yang mereka temukan. Untuk daging inipun jarang mereka masak. Jika ada binatang buruan yang didapat mereka lebih suka menjemur daging-daging tersebut di matahari panas sehingga menjadi daging asinan atau dendeng.
Bagi Punan yang tinggal di dalam goa-goa, kebanyakan tak mengenal suami atau isteri. Secara umum jika mereka mau bergaul tergantung dari kesepakatan atau suka sama suka. Jadi bagi mereka tak ada istilah cemburu atau rasa memiliki sendiri. Jika ada yang hamil kemudian melahirkan, maka anak tersebut adalah anak bersama mereka. Di mana mereka saling sayang  menyayangi dan saling merawat satu dan lainnya.
Kehidupan dan kerja mereka sehari-hari berdasarkan limpahan kasih dari alam. Memang mereka bisa juga berhubungan dagang dengan masyarakat umum, tetapi tidak ditukar dengan uang namun dilakukan secara barter (Pertukaran). Yang dibawa mereka adalah seperti rotan, damar, kayu gaharu, sarang wallet. Yang dibarter dengan garam, gula, tembakau atau rokok. Dan ada pula kain kainan.
Cara penukaran barangpun tidak langsung bertemu dengan orangnya, melainkan barang barang yang dibawa diletakkan disuatu tempat yang tersedia. Setelah barang mereka diambil dan dibayar pula dengan barang yang dibutuhkan mereka. Setelah yakin pengantar barang sudah tidak ada, maka barulah mereka mengambil barang yang menjadi milik mereka. 
Dayak Berusu, adalah salah satu anak suku Dayak Punan. Tetapi Dayak yang satu ini sudah mengenal kehidupan modern. Keberadaan mereka banyak di daerah pesisir, yaitu di daerah Sekatak Kabupaten Bulungan mendiami sekitar 13 desa. Kehidupan mereka sangat berbeda dengan mereka yang masih primitif.
Mereka dalam keseharian senang melakukan pesta memakan daging buruan serta meminum-minuman keras buatan mereka sendiri, yang terdiri dari bahan beras ketan dan  tetumbuhan. Acara minum dan pesta tersebut mereka lakukan pada waktu panen terlebih jika ada yang meninggal dunia.
Namun kebebasan bergaul sesama mereka tetap saja tak berubah. Di samping itu mereka juga tak pernah menerima masyarakat lain ke dalam kehidupan keluarga mereka. Walaupun masyarakat lain tersebut adalah orang orang dari Suku Dayak pula. 
Dihitung dari populasi keberadaan Dayak Punan ini kian tahun kian menurun bahkan cendrung punah. Tetapi walau demikian mereka tetap saja tak pula berubah dengan pola adat istiadad dari leluhur mereka yang  dipercayai. Mereka juga tak mengenal pakaian bagus dan kemajuan zaman. Lebih aneh lagi dari kehidupan masyarakat Punan ini adalah secara umum mereka merasa takut dan alergi terhadap Sabun . Entah apa sebabnya tak ada yang mengetahui secara pasti.
Dulu semasa Orde Baru ada sermacam badan yang menangani masalah pemukiman masyarakat terasing dan liar yang bernama “Resetlemen Penduduk”. Rasanya keberadaan lembaga ini di bawah pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Timur.  Banyak keberhasilan dari “Respen“ yang kini sudah berbuah dan terbukti semisal perkampungan masyarakat terasing di ”Gemar Baru” alur Sungai Mahakam, atau perkampungan masyarakat terasing di “Sungai Lati“ Kabupaten Berau yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial.  
Patut rasanya bagi pemerintah Daerah Kalimantan Timur memperhatikan keadaan Suku Punan ini. Masalahnya jika benar ditelusuri, kehidupan dan seni budaya mereka adalah merupakan suatu asset yang langka dan patut dilestarikan. Kepunahan mereka adalah juga kerugian kita bersama. Kita cukup kaya dengan berbagai keragaman adat, seni dan budaya bangsa. Untuk itu mereka adalah merupakan tanggung jawab kita bersama.

Legenda Apokayan

Jika kita berbicara soal orang-orang Dayak, maka suku yang paling pantas disebut pertama adalah suku Dayak Kenyah yang populasinya lebih besar ketimbang suku-suku dayak lainnya di seluruh Pulau Kalimantan. Termasuk Serawak dan Sabah Malaysia dan Brunai Darussalam. DARI kebesaran suku ini selain sangat populer dengan seni dan adatnya, mereka termasuk suku yang paling dihormati. Tetapi sebutan Dayak Kenyah ini bukanlah berdiri sendiri melainkan mereka memiliki anak suku yang cukup banyak. Untuk itu keberadaan mereka tak terlepas dari apa yang disebut sebagai Legenda Apokayan. Wilayah Apokayan termasuk ke dalam daerah Bulungan yang merupakan basis dari suku dan anak suku (Uma) Dayak Kenyah terletak di ujung barat Kabupaten Bulungan, berbatasan langsung dengan Serawak Malaysia Timur.
Dari Apokayan inilah orang orang Kenyah berkembang pesat, baik secara budaya maupun adat sebelum akhirnya mereka berpencar ke berbagai wilayah di Kalimantan, seperti Kutai, Berau, Paser, kemudian memasuki pula Kalimantan Barat  serta Serawak dan Sabah.
Wilayah yang disebut Apokayan saat ini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kayan Hulu  dengan luas sekitar 3.500 Kilometer persegi dengan penyebaran pada 14 desa dengan  jumlah sekitar 5.000 jiwa. Jumlah ini adalah jumlah mereka yang menetap di Kayan Hulu, belum termasuk di daerah Kecamatan Kayan Hilir serta yang tersebar diberbagai wilayah Kalimantan  secara keseluruhan.
Asal cerita orang orang Apokayan ini  berawal dari  daerah perkampungan “Lundaye“ warga yang berdiam di perbatasan Serawak dan Bulungan, yang bertujuan mencari daerah baru karena populasi mereka kian berkembang. Mereka secara berkelompok menyebar meninggalkan daerah Lundaye. Dari penyebaran tersebut salah satu kelompok terbesar mereka adalah orang orang yang disebut sebagai suku Kenyah sampai ke daerah Apau Da’a  Bulungan dan bermukim di tempat tersebut karena daerah ini subur dan kaya dengan hasil bumi yang mereka butuhkan.
Setelah cukup lama bermukim di Apau Da’a, populasi mereka kian pula bertambah, maka untuk lebih berkembang mereka membentuk 12 kelompok keluarga dan mengembara mencari wilayah baru untuk didiami.  12 kelompok tersebut terdiri dari 40 anak suku (Uma) atau keluarga menyusuri daratan dan sungai Kayan  hingga sampai kemana mana. Mereka yang keluar meninggalkan Apau Da’a, adalah Uma Bakung, Uma Lepu Tau, Uma Tukung, Uma Jalan, Uma Timai, Uma Baja, Uma Bem, Uma Badeng, Uma Ujok, Uma Pawa, Uma Awai, dan Uma Kayan Ma’ Leken.
Anak suku Kenyah ini amat ulet, berani, dan sangat menjaga kekerabatan serta adat budaya leluhur mereka sampai kemanapun. Pada setiap pemukiman mereka  selalu ada balai adat atau Lamin Pertemuan keluarga, selain untuk upacara dan penyambutan tamu.
Pada saat kini yang telah menetap seperti Uma Tau dan Uma Bakung mendiami Desa Sungai Barang, Desa Long Uro di Apokayan, sedang Uma Jalan menempati Desa Long Ampung, Long Nawang, dan Nawang Baru. Sedang anak suku lainnya menyebar dan menempati dibeberapa desa  wilayah adad Apokayan , seperti Desa Long Bata’oh,  Long Temuyat, Long Top,Long Lebusan, Long Anye, Lidung Payau, Long Payau, Mahak Baru, dan Dumu Mahak. Namun walau desa mereka berjauhan mereka tetap menjaga kekerabatan dan saling kunjung mengunjungi bila ada upacara  perkawinan, kematian, dan pesta panen tahunan.
Daerah Apokayan ditemukan oleh orang orang Kenyah asal Lundaye pada abad ke 16 dan menjadikan Apokayan sebagai basis  dan kawasan adat  Suku Dayak Kenyah, dimana setelah berkembang pesat dan berjalan selama dua abab maka pada abad ke 18 mereka mulai eksodus dan menyebar ke arah Kabupaten Kutai menyusuri  Sungai Mahakam, Sungai Kapuas Hulu, memasuki daerah kerajaan Berau, terus kehilir Sungai Kayan menuju Tanjung Peso, Tanjung Palas dan Tanjung Selor.
Perubahan adat kepercayaan terjadi pada awal abad 20 pada Suku Kenyah yang dibawa oleh Pemerintah kolonialis Belanda. Mereka mulai mengenal  peradaban baru  dan secara perlahan mengikis kepercayaan pada kepercayaan leluhur serta tradisi lain yang tak sejalan dengan hukum masyarakat modern, termasuk mereka mulai memeluk kepercayaan  Kristen  dan Islam, pendidikan serta sosial kemasyarakatan.
Yang mengenal perubahan ini adalah masyarakat yang telah meninggalkan  daerah Apokayan  dengan jumlah tak sedikit, yaitu sekitar 12 ribu jiwa sehingga di Apokayan sendiri tersisa sekitar 3.000 jiwa yang bertahan.
Namun demikian walau tersisa sudah tak banyak, mereka yang tinggal tetap teguh dengan segala kepercayaan dan adat yang mereka percayai semenjak leluhur mereka. Pada setiap waktu mereka selalu melaksanakan upacara sakral yang mereka yakini. Mereka juga tidak perduli dengan keadaan di luar kawasan adat mereka.
Tetapi orang orang Kenyah ini adalah orang yang selalu menjaga kekerabatan secara utuh. Pada kenyataannya walau mereka pergi jauh dan terpencar kemana mana, namun tetap saja mereka pada waktu waktu tertentu kembali ke Apokayan untuk bertemu dengan warga dan tetuha adat yang masih ada.
Selain mereka kembali ke Apokayan dalam urusan adat dan keluarga, pada waktu waktu tertentu, mereka juga tak melupakan asal usul mereka yaitu daerah pertama yang disebut desa orang-orang Lundaye dan desa desa asal usul pertama di pedalaman perbatasan Bulungan Serawak.
Dasar utama mereka meninggalkan Apokayan adalah berkaitan pada masalah ekonomi. Karena lahan di Apokayan kian sempit terjadilah perpindahan mereka ke berbagai daerah di samping menghindari persaingan dan perebutan sesuatu wilayah subur yang bisa terjadi antara anak suku (Uma ) Kenyah.  Perginya penduduk ke daerah daerah subur yang ditemukan atau diberitakan oleh keluarga dan kerabat yang telah lebih dahulu pergi membuat Apokayan bertambah sepi.
Dalam upaya mengembalikan kehidupan Apokayan untuk menjadi sentral seni budaya dan adat Suku Kenyah, serta mengupayakan agar orang-orang Kenyah yang tadinya pergi bisa kembali ke Apokayan dan membangun Apokayan sebagai pusat keberadaan Suku Kenyah, pada tahun 1994 lalu di Apokayan  dilaksanakan pertemuan adat seluruh anak suku (Uma ) Kenyah  disertai pesta penen dan pagelaran budaya yang mereka sebut “Bangen Jenai Lale.”
Atau dengan arti Bangen adalah Pesta, Jernai adalah Makanan dan Beras, Lale adalah  Adat. Yang diambil dari kebiasaan sakral Suku Kenyah.
Sejak itulah kebanggaan sebagai Suku Kenyah ditampakkan ke berbagai wilayah. Semua orang yang berasal dari Suku Kenyah memiliki  atau memakai tanda kalau mereka adalah orang orang Dayak Kenyah  yang terbesar dan tersebar di seluruh pelosok Kalimantan..
Apokayan yang termasuk di dalam wilayah Bulungan ini memang tak berkaitan budaya atau darah dengan masyarakat atau bangsawan Bulungan. Orang Dayak Kenyah  tak memiliki raja atau kerajaan, namun mereka memiliki Kepala Suku dan Kepala Adat yang kedudukannya hampir sama dengan seorang raja. Apa kata Kepala Suku atau Kepala Adat, itulah yang  menjadi putusan hukum bagi masyarakat Kenyah.
Sebenarnya daerah Apokayan ini adalah suatu daerah yang sangat indah dan alami, sehingga banyak turis mancanegara yang bertualang di daerah ini untuk menikmati keindahan alam serta ragam budaya yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Suku Kenyah. Selain itu banyak pula dari kalangan budayawan asing melakukan penelitian  sejarah dan budaya  keberadaan Kenyah yang mereka anggap unik serta langka.  
Keindahan alam Apokayan kini sudah dikenal oleh masyarakat mancanegara. Apalagi Apokayan juga memiliki hutan yang masih utuh penuh dengan flora dan fauna sehingga merupakan asset  jual yang bernilai tinggi.
Keindahan Apokayan adalah salah satu dari seribu keindahan  alam Kabupaten Bulungan, yang membentang dari ujung Apokayan hingga ke sisi pegunungan Kerayan, membujur kea rah Lumbis, Malinau dan Mentarang; Kemudian dari Long Peso memanjang ke Long Pujungan, Sesayap, Sembakung, dan Nunukan, sampai ke pulau Sebatik.
Keadaan ini ketika Kabupaten Bulungan belum terbagi menjadi empat bagian yaitu Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten  Nunukan dan Kota Tarakan. Namun demikian hal tersebut adalah hanya persoalan pembagian administrasi dan untuk kepentingan percepatan pembanguan di wilayah utara Kalimantan Timur.
Walau demikian alamnya  serta seni budaya dan kondisi lingkungan tetap saja sama tak berubah. Keramahan penduduk Suku Kenyah ini sangat membuat siapapun akan terkesan selama hidupnya. Apalagi bagi  kalangan turis mancanegara. Ada diantara mereka yang jatuh cinta dengan Apokayan. Mereka rela tinggal dan mengawini gadis Apokayan yang kebanyakan cantik-cantik alami.
Pada umumnya mereka yang bertualang ke pedalaman dan desa desa di kawasan ini sudah merasa jenuh hidup di tengah tengah kota yang penuh bangunan bangunan beton. Apalagi dengan kebebasan dan cara hidup mereka juga sangat berbeda, walau agama kepercayaan mereka ada yang sama yaitu Kristen Protestan atau Katolik. Di lain itu disini mereka menemukan ketenangan dan kedamaian jiwa terlepas dengan segala tututan hidup yang selalu dalam persaingan.
Sebagai orang Kalimantan apalagi Kalimantan Timur sendiri amatlah rugi jika belum pernah menikmati keindahan dan keramahan masyarakat Apokayan. Penulis yakin jika Anda kesana, Anda pasti jatuh hati  dengan situasi yang sangat mempersona. Terutama pada pemuda-pemuda kekar dan tampan serta gadis gadis semampai yang cantik di samping alam yang begitu indah mempersona. Saya yakin Anda tak akan kecewa .Cobalah jangan disia siakan semasa kesempatan masih ada.