Rabu, 12 Januari 2011

Aji Raden Serif

Dia memilih bunuh diri ketimbang menyerahkan para kepala adat kepada tentara Jepang. Tindakan gagah beraninya itu mengobarkan semangat rakyat pedalaman Mahakam untuk melawan penjajah.
TAHUN 1945 merupakan saat-saat akhir kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur Raya melawan Sekutu. Menjelang kekalahan tersebut tentara Dai Nipon menjadi amat ganas dimana-mana. Mereka tak lagi mengenal berbagai aturan perang.
Saat itu, bagi Jepang tak ada tawanan yang boleh hidup. Baik sipil maupun militer sekutu, dibantai habis tanpa diadili.
Karena memegang tinggi harga diri, waktu itu tak seorangpun perwira Jepang yang dapat ditawan oleh sekutu. Tawanan sekutu pada umumnya hanyalah prajurit. Itupun kebanyakan bukan orang Jepang asli, melainkan orang-orang Korea dan Taiwan.
Para perwira Jepang jika kalah dalam suatu pertempuran, kebanyakan melakukan “harakiri“ atau bunuh diri di tempat tugasnya. Alasan tindakan itu, selain mereka yakin dengan kesucian pengabdiannya pada “tenohaika“ juga karena mereka tidak sudi disiksa dan dihukum mati tanpa perlawanan. Sehingga setelah usai perang para perwira Jepang tak banyak bersisa.
Pasukan Jepang dalam menaklukkan Asia Timur Raya, memang tidak berjalan dengan waktu lama. Dalam waktu hanya beberapa bulan saja mereka sudah mampu menaklukkan hampir secara keseluruhan, yang berujung di Indonesia dan Pilipina.
Menjelang kekalahan, balatentara Dai Nipon ini menderita kekurangan makanan akibat blokde Sekutu di berbagai daerah. Untuk tetap bisa bertahan hidup, mereka pun melakukan perampasan makanan milik rakyat dimana-mana.
Perampasan makanan ini juga sampai ke daerah pedalaman Mahakam Kalimantan Timur. Mereka menjarah ke berbagai pelosok dusun, hingga sampai ke perkampungan Dayak Benuaq di Tanjung Isuy, tepatnya di daerah Lamin Mancong.
Belakangan, masyarakat di Lamin Mancong sudah  tak mampu lagi memenuhi kewajiban menyerahkan hasil tanaman padi mereka pada tentara Jepang yang bermarkas di Muara Muntai. Rakyat di pedalaman Mahakam banyak yang jadi kelaparan karena semua hasil bumi mereka dirampas. Sadisnya, jika ada yang melawan, maka hukuman pancung pasti dijatuhan kepadanya.
Rakyat berurusan dengan tentara Jepang, jarang sekali terjadi. Dan, jika terjadi urusannya adalah mati. Begitulah yang dialami oleh berbagai lapisan masyarakat pada saat penjajahan  Jepang di Nusantara ini.
Daerah Lamin Mancong  keberadaannya di dalam alur sungai yang sekarang ini termasuk di wilayah Kecamatan Jempang dengan ibukotanya Tanjung Isuy. Tetapi pada waktu itu masih termasuk di dalam wilayah Kecamatan Muara Muntai. Antara Tanjung Isuy  dan Muara Muntai dipisahkan oleh luasnya Danau Jempang  yang dikelilingi pula oleh beberapa kampung Nelayan, seperti Jantur dan Kampung Aloh. Perkampungan ini  saling berhubungan melalui alur sungai dari Danau Jempang, Danau Semayang, Danau Melintang, hingga ke Kecamatan Kota Bangun.
Pada waktu itu pesawat bersampan milik pasukan sekutu sering  mendarat di atas danau Jempang, Danau Melintang dan Danau Semayang. Mereka sering mengadakan pertemuan-pertemuan dengan penduduk dan menyerukan perlawanan kepada pihak Jepang. Orang-orang Sekutu ini berjanji memberikan bantuan pangan dan senjata pada para penduduk tersebut.
Beberapa perkumpulan perlawanan dibentuk oleh para pemuda Mahakam secara diam-diam untuk melakukan perlawanan apabila pihak sekutu benar-benar membantu mereka dengan memberi senjata dan bantuan lainnya. Dengan kondisi memprihatinkan dan tak tahan lagi dengan perlakuan tentara Jepang yang kian ganas, orang-orang Lamin Mancong menolak memberikan hasil panen mereka pada pihak Jepang.
Penolakan ini membuat Jepang marah dan berusaha menangkapi para pemimpin suku yang membangkang dan melawan. Jepang lantas memerintahkan Aji Raden Serif –Kepala Penjawat (Camat) Kesultanan Kutai untuk pergi ke Mancong. Misi yang diberikan Jepang adalah membawa kepala adat suku Benuaq serta para petinggi (Kepala Kampung) ke Muara Muntai dengan dalih berunding.
Aji Raden Serif sangat paham kalau itu hanya sekedar akal bulus orang-orang Jepang. Kalau kepala adat dan petinggi sudah didapat, pastilah mereka akan dibunuh. Namun karena tak mampu berbuat apa-apa, A.R. Serif  terpaksa berangkat ke Mancong disertai dua orang Polisi Pamong Praja Kerajaan Kutai.
Setibanya di Mancong, A.R. Serif disambut dengan segala kehormatan oleh masyarakat dan kepala adat. Masalahnya, mereka adalah rakyat yang memang tunduk di bawah pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara
R.A. Serif lantas membicarakan masalah yang dihadapinya. Kepala Adat Mancong bernama Taman Poke pun memaklumi kesulitan tersebut. Apalagi dari mata-mata orang Dayak Mancong, dikabarkan kalau anak isteri dari Raden Serif sudah disandera oleh tentara Jepang. Tujuannya menekan A.R. Serif agar dapat memaksa Kepala Adat serta Petinggi Mancong ikut ke Muara Muntai.
Mendengar kabar itu, Aji Raden Serif bertambah bingung. Tak mungkin dia dapat memaksa Taman Poke atau kepala adat serta Petinggi Mancong. Kalau pun mereka mau, itu sama saja membunuh kedua orang tersebut melalui tentara Jepang.
Sedangkan keduanya adalah perangkat dan abdi dari Kerajaan Kutai juga. Apalagi pada dasarnya A.R.Serif memang tidak suka dengan keberadaan tentara Jepang. Namun, apapun alasannya dia tidak mampu berbuat apa-apa.
Sedangkan kalau AR Sherif pulang dengan tangan kosong, pihak Jepang akan membunuhnya dan membantai seluruh anggota keluarganya. Dalam keadaan sedemikian, AR Serif menjadi sangat kebingungan.
Oleh kepala adat Mancong, A.R. Serif diminta untuk tidak pulang ke Muara Muntai. Sang kepala adat juga berjanji akan mengirim beberapa orang andalannya untuk menculik dan menyelamatkan anak isteri Aji Raden Serif serta membawa mereka ke Mancong.
Namun demikian, Serif masih berpikir pula akan nasib rakyat Muara Muntai yang mungkin saja akan dibantai oleh orang-orang Jepang jika sampai terjadi penyelamatan atas anak isterinya oleh orang-orang Mancong. “Bukankah korban akan lebih banyak lagi?“ begitu pikir Serif. Rupanya ia merasa bertanggungjawab pula pada keselamatan penduduk.
Setelah beberapa hari di Mancong, suatu malam Serif diam-diam pergi ke suatu tempat. Di sana ia lalu melakukan bunuh diri. Sebilah mandau tajam dan beracun ia hujamkan ke dadanya hingga mengakhiri hidupnya.
Namun, tindakan Serif bukan tanpa alasan. Ia meninggalkan sepucuk surat yang ditujukan kepada masyarakat Muara Muntai, warga Mancong dan keluarganya. Dalam amanatnya dia meminta jenazahnya dibawa ke Muara Muntai dan diserahkan kepada keluarganya. Dalam sepucuk surat itu, Serif juga mengumandangkan kepada penduduk untuk melakukan perlawanan terhadap orang-orang Jepang sampai mereka terusir dari tanah Muara Muntai.
Ajaib, belum lagi genap empat puluh hari pasca tewasnya Aji Raden Serif, terjadi pertempuran dengan pihak Jepang di Muara Muntai. Masyarakat menyerang orang-orang Jepang dengan senjata apa adanya, seperti keris, mandau, parang dan tombak. Petempuran tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Muara Muntai saja, tetapi juga orang orang Dayak Benuaq dan Dayak Mahakam lainnya.
Jepang sama sekali tak mengira kalau rakyat Muara Muntai akan melakukan pemberontakan secara tiba-tiba. Beberapa pos penjagaan dan markas induk di Muara Muntai diserang dan dikuasai oleh penduduk.
Namun, Jepang cukup beruntung karena penduduk tak ada yang bisa menggunakan senjata api. Masyarakat ketika itu hanya mampu mempergunakan senjata tradisional sehingga serangan yang ditimbulkan tidak terlalu fatal.
Surat Raden Serif yang membakar semangat rakyat Muara Muntai dan sekitarnya memang sangat berpengaruh. Rakyat menjadi panas hati atas pengorbanan Serif yang dinilai sangat perduli kepada mereka. Untuk itu kenapa mereka harus berdiam diri dan tak tahu diri. “Dari pada mata berkalang putih, lebih baik mati tanpa kain putih.” Semboyan itulah yang membuat semangat rakyat berkobar melakukan perlawanan.
Walau sempat kalang-kabut, namun Jepang akhirnya mampu mengatasi situasi setelah mendatangkan bantuan markas mereka yang ada di Tenggarong. Banyak tentara Jepang yang tewas, walau di pihak rakyat juga tidak sedikit yang mati tertembus peluru.
Saat itu masyarakat sempat kecewa karena bantuan tentara sekutu yang diharapkan tak kunjung datang. Akhirnya mereka terpaksa tercerai-berai dan masuk ke dalam hutan untuk melakukan perlawanan secara bergeriliya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar