Rabu, 12 Januari 2011

Kadrie Oening

Semangat dan kettegarannya telah menghantarkan Kota Samarinda menjadi sebuah daerah maju. Kadrie Oening memang patut menjadi teladan bagi para penyelenggara pemerintahan.

SEKITAR tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Poea Adi bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah (sekarang Samarinda Seberang_Red). Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Pilipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka.
Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai  Banjar dan suku lainnya.
Sedang Poea Adi diberi gelar Panglima Sepangan Pantai. Ia bertanggungjawab terhadap keamanan rakyat dan kampung-kampung sekitar sampai ke bagian muara Badak, Muara Pantuan dan sekitarnya.
Keputusan sidang kerajaan membuka Desa Sama Rendah memang jitu. Sejak saat itu, keamanan di sepanjang pantai dan jalur Mahakam menjadi kondusif. Tidak ada lagi bajak laut yang berani beraksi.
Dengan demikian, kapal-kapal dagang yang berlayar, baik dari Jawa maupun daerah lainnya bisa dengan aman memasuki Mahakam. Termasuk kapal-kapal pedagang Belanda dan Inggris. Mereka berlayar hingga ke pusat Kerajaan, di Tepian Pandan Tenggarong. Dengan demikian roda pemerintahan berjalan dengan baik serta kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat.
Sejarah terbukanya sebuah kampung yang menjadi kota besar, dikutip dari buku berbahasa Belanda dengan judul “Geschiedenis van Indonesie“ karangan de Graaf. Buku yang diterbitkan NV.Uitg.W.V.Hoeve, Den Haag, tahun 1949 ini juga menceritakan keberadaan Kota Samarinda yang diawali pembukaan perkampungan di Samarinda Seberang  yang dipimpin oleh Poea Adi.
Belanda yang mengikat perjanjian dengan kesultanan Kutai kian lama kian bertumbuh. Bahkan, secara perlahan Belanda menguasai perekonomian di daerah ini. Untuk  mengembangkan kegiatan perdagangannya, maka Belanda membuka perkampungan di Samarinda Seberang pada tahun  1730 atau 62 tahun setelah Poea Adi membangun Samarinda Seberang. Di situlah Belanda memusatkan perdagangannya.
Namun demikian, pembangunan Samarinda Seberang oleh Belanda juga atas ijin dari Sultan Kutai, mengingat kepentingan ekonomi dan pertahanan masyarakat di daerah tersebut. Apalagi, Belanda pada waktu itu juga menempatkan pasukan perangnya di daerah ini sehingga sangat menjamin keamanan bagi Kerajaan Kutai.
Samarinda berkembang terus dengan bertambahnya penduduk yang datang dari Jawa dan Sulawesi dalam kurun waku ratusan tahun. Bahkan sampai pada puncak kemerdekaan tahun 1945 hingga keruntuhan Orde Lama yang digantikan oleh Orde Baru, Samarinda terus ’disatroni’ pendatang dari luar Kaltim.
Waktu itu Tahun 1966 adalah peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru. Keadaan semuanya masih acak dan semberawut. Masalah keamanan rakyat  memang  terjamin dengan terbentuknya Hansip (Pertahanan Sipil) yang menggantikan OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat). Hansip mendukung keberadaan Polisi dan TNI.
Kendati terbilang maju pada zamannya, perubahan signifikan Kota Samarinda dimulai ketika Walikota Kadrie Oening diangkat dan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Surat Keputusan No.Pemda 7/ 67/14-239 tanggal 8 November 1967. Ia menggantikan Mayor Ngoedio yang kemudian bertugas sebagai pejabat tinggi pemerintahan Jawa Timur di Surabaya.
Kotamadya Samarinda pada tahun 1950 terbagi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda Ilir dan Samarinda Seberang. Luas wilayahnya saat itu hanya 167 km persegi. Kemudian pada tahun  1960 wilayah Samarinda diperluas menjadi 2.727 km meliputi daerah Kecamatan Palaran, Sanga Sanga, Muara Jawa dan Samboja. Namun belakangan, kembali terjadi perubahan. Kota Samarinda hanya tinggal Kecamatan Palaran, Samarinda Seberang, Samarinda, Ilir, Samarinda Ulu dan Samarinda Utara.
Sebelum dilantik sebagai Walikota, Kadrie Oening adalah salah seorang Wedana yang diperbantukan di Kotamadya Balikpapan. Ia juga pernah menjadi Camat Sangkulirang pada masa Orde Lama. Dalam pergerakan politik menjelang kemerdekaan, Kadrie Oening tidak banyak disebut. Tetapi bukan berarti dia tidak turut ambil bagian dalam sejarah perjuangan.
Kadrie Oening tercatat sebagai walikota sipil pertama. Dua walikota sebelumnya diangkat dari unsur militer, yaitu Kapten TNI AD Soejono dan Mayor TNI AD Ngoedio.
Peran Kadrie Oening selaku walikota memang tak bisa dipungkiri lagi.
Disana-sini dia mulai melakukan perubahan wajah kota. Yang pertama dia lakukan adalah pelebaran jalan-jalan dalam kota dan menata bangunan dan pembangunan.
Dulu, wajah kumuh dari berbagai bangunan kota serta jalan batu dan bopeng memang mewarnai kehidupan sehari-hari. Daerah kota yang kumuh ini dimalam hari menjadi tempat-tempat hiburan liar yang diwarnai  pelacuran dan pesta miras yang meresahkan masyarakat. Sering terjadi perkelahian akibat minuman beralkohol atau berebut Watunas. Watunas merupakan istilah dulu, yakni wanita tuna susila.
Kepemimpinan Kadrie Oening memang sangat berkesan. Dengar saja komentar Hermanto, yang kini menduduki jabatan Sekretaris DPRD Samarinda. “Beliau adalah seorang pemimpin yang patut ditelandani,“ ucap Hermanto ketika berbincang dengan BONGKAR! belum lama ini.
Semangat dan ketegaran Kadrie Oening dalam menata Kota Samarinda, menurut Hermanto belum ada yang menyamai. ”Waktu beliau jadi Walikota Samarinda, saya sudah bekerja. Saya masih ingat ketika beliau membentuk OK3 (Operasi Ketertiban Keamanan Kota) yang kemudian berubah menjadi Tibum dan terakhir disebut Satuan Polisi Pamong Praja (Sat pol PP). Saya sempat diberi tugas,” kenang Hermanto.
Waktu itu, katanya kondisi Kota Samarinda masih begitu rancu dan semberawut. Kadrie Oening selalu turun ke lapangan. ”Beliau tak perduli siang atau malam. Bahkan subuh sekalipun beliau akan memantau kota dengan berjalan kaki atau berkendaraan skuternya (kendaraan roda dua sejenis vespa),” ujar Sekwan.
Di mata Hermanto dan kawan-kawan seangkatannya, Kadrie Oening merupakan pelaku sejarah dalam peletakan dasar perubahan dan pembangunan Samarinda. Masih banyak yang dapat ditemui. Antara lain, perombakan dan pelebaran jalan kota, Bangunan THG yang sekarang menjadi Citra Niaga. Dia juga merancang dan salah seorang penggagas pembangunan Mesjid Raya Darussallam. Dia juga ’menghapus’ becak dari Samarinda sejak 1 Januari 1975, seperti yang tertuang dalam SK Walikotamadya Tk. II Samarinda No. 150 tahun 1974.
Kadrie juga merupakan salah satu konseptor Stadion Gelora Segiri, Jalan Kesuma Bangsa. Taman Makam Pahlawan yang tadinya berada di belakang hotel Virus, dipindahkan di Kesuma Bangsa, sehingga lokasinya dinilai lebih layak dan tertata rapi. Selain itu, dia pun merancang beberapa jembatan di Sungai Karang Mumus.
Dulu, kawasan Pasar Segiri masih berupa hutan rawa-rawa. Kadrie ini pula yang mau tinggal di kawasan tersebut. Padahal dia seorang walikota yang dipastikan bisa tinggal di tempat strategis atau bergengsi di mana saja.
Lokalisasi pelacuran, dulu masih berada dekat pusat keramaian sehingga campur baur dengan kehidupan masyarakat. Nah, Kadrie pula yang dengan tegas menggusur komplek pelacuran Pintu Lima dan memindahkannya ke pinggiran kota, yakni Kelurahan Air Hitam. Saat ini, bekas komplek pelacuran Pintu Lima di Jalan Dahlia itu diisi dengan perkantoran Pemkot Samarinda dan perumahan penduduk. ”Yang merancang dasar pembangunan Balaikota Samarinda sekarang ini, ya bapak Kadrie Oening itu,” timpal Hermanto.
Menurut Hermanto, masih banyak lagi yang sudah disumbangkan almarhum Kadrie Oening bagi pembangunan Kota Samarinda. Namun ia sangat menyayangkan, semenjak ia tak lagi menjabat, tak seorangpun yang terlihat peduli atau mengenang jasa-jasa almarhum.
”Paling tidak menjiarahi kuburan beliau sebagai penghormatan dan mengenang apa yang telah beliau lakukan untuk Samarinda,” ujar Hermanto agak menyindir para walikota pasca era Kadrie Oening.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar