Selasa, 11 Januari 2011

Legenda Apokayan

Jika kita berbicara soal orang-orang Dayak, maka suku yang paling pantas disebut pertama adalah suku Dayak Kenyah yang populasinya lebih besar ketimbang suku-suku dayak lainnya di seluruh Pulau Kalimantan. Termasuk Serawak dan Sabah Malaysia dan Brunai Darussalam. DARI kebesaran suku ini selain sangat populer dengan seni dan adatnya, mereka termasuk suku yang paling dihormati. Tetapi sebutan Dayak Kenyah ini bukanlah berdiri sendiri melainkan mereka memiliki anak suku yang cukup banyak. Untuk itu keberadaan mereka tak terlepas dari apa yang disebut sebagai Legenda Apokayan. Wilayah Apokayan termasuk ke dalam daerah Bulungan yang merupakan basis dari suku dan anak suku (Uma) Dayak Kenyah terletak di ujung barat Kabupaten Bulungan, berbatasan langsung dengan Serawak Malaysia Timur.
Dari Apokayan inilah orang orang Kenyah berkembang pesat, baik secara budaya maupun adat sebelum akhirnya mereka berpencar ke berbagai wilayah di Kalimantan, seperti Kutai, Berau, Paser, kemudian memasuki pula Kalimantan Barat  serta Serawak dan Sabah.
Wilayah yang disebut Apokayan saat ini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kayan Hulu  dengan luas sekitar 3.500 Kilometer persegi dengan penyebaran pada 14 desa dengan  jumlah sekitar 5.000 jiwa. Jumlah ini adalah jumlah mereka yang menetap di Kayan Hulu, belum termasuk di daerah Kecamatan Kayan Hilir serta yang tersebar diberbagai wilayah Kalimantan  secara keseluruhan.
Asal cerita orang orang Apokayan ini  berawal dari  daerah perkampungan “Lundaye“ warga yang berdiam di perbatasan Serawak dan Bulungan, yang bertujuan mencari daerah baru karena populasi mereka kian berkembang. Mereka secara berkelompok menyebar meninggalkan daerah Lundaye. Dari penyebaran tersebut salah satu kelompok terbesar mereka adalah orang orang yang disebut sebagai suku Kenyah sampai ke daerah Apau Da’a  Bulungan dan bermukim di tempat tersebut karena daerah ini subur dan kaya dengan hasil bumi yang mereka butuhkan.
Setelah cukup lama bermukim di Apau Da’a, populasi mereka kian pula bertambah, maka untuk lebih berkembang mereka membentuk 12 kelompok keluarga dan mengembara mencari wilayah baru untuk didiami.  12 kelompok tersebut terdiri dari 40 anak suku (Uma) atau keluarga menyusuri daratan dan sungai Kayan  hingga sampai kemana mana. Mereka yang keluar meninggalkan Apau Da’a, adalah Uma Bakung, Uma Lepu Tau, Uma Tukung, Uma Jalan, Uma Timai, Uma Baja, Uma Bem, Uma Badeng, Uma Ujok, Uma Pawa, Uma Awai, dan Uma Kayan Ma’ Leken.
Anak suku Kenyah ini amat ulet, berani, dan sangat menjaga kekerabatan serta adat budaya leluhur mereka sampai kemanapun. Pada setiap pemukiman mereka  selalu ada balai adat atau Lamin Pertemuan keluarga, selain untuk upacara dan penyambutan tamu.
Pada saat kini yang telah menetap seperti Uma Tau dan Uma Bakung mendiami Desa Sungai Barang, Desa Long Uro di Apokayan, sedang Uma Jalan menempati Desa Long Ampung, Long Nawang, dan Nawang Baru. Sedang anak suku lainnya menyebar dan menempati dibeberapa desa  wilayah adad Apokayan , seperti Desa Long Bata’oh,  Long Temuyat, Long Top,Long Lebusan, Long Anye, Lidung Payau, Long Payau, Mahak Baru, dan Dumu Mahak. Namun walau desa mereka berjauhan mereka tetap menjaga kekerabatan dan saling kunjung mengunjungi bila ada upacara  perkawinan, kematian, dan pesta panen tahunan.
Daerah Apokayan ditemukan oleh orang orang Kenyah asal Lundaye pada abad ke 16 dan menjadikan Apokayan sebagai basis  dan kawasan adat  Suku Dayak Kenyah, dimana setelah berkembang pesat dan berjalan selama dua abab maka pada abad ke 18 mereka mulai eksodus dan menyebar ke arah Kabupaten Kutai menyusuri  Sungai Mahakam, Sungai Kapuas Hulu, memasuki daerah kerajaan Berau, terus kehilir Sungai Kayan menuju Tanjung Peso, Tanjung Palas dan Tanjung Selor.
Perubahan adat kepercayaan terjadi pada awal abad 20 pada Suku Kenyah yang dibawa oleh Pemerintah kolonialis Belanda. Mereka mulai mengenal  peradaban baru  dan secara perlahan mengikis kepercayaan pada kepercayaan leluhur serta tradisi lain yang tak sejalan dengan hukum masyarakat modern, termasuk mereka mulai memeluk kepercayaan  Kristen  dan Islam, pendidikan serta sosial kemasyarakatan.
Yang mengenal perubahan ini adalah masyarakat yang telah meninggalkan  daerah Apokayan  dengan jumlah tak sedikit, yaitu sekitar 12 ribu jiwa sehingga di Apokayan sendiri tersisa sekitar 3.000 jiwa yang bertahan.
Namun demikian walau tersisa sudah tak banyak, mereka yang tinggal tetap teguh dengan segala kepercayaan dan adat yang mereka percayai semenjak leluhur mereka. Pada setiap waktu mereka selalu melaksanakan upacara sakral yang mereka yakini. Mereka juga tidak perduli dengan keadaan di luar kawasan adat mereka.
Tetapi orang orang Kenyah ini adalah orang yang selalu menjaga kekerabatan secara utuh. Pada kenyataannya walau mereka pergi jauh dan terpencar kemana mana, namun tetap saja mereka pada waktu waktu tertentu kembali ke Apokayan untuk bertemu dengan warga dan tetuha adat yang masih ada.
Selain mereka kembali ke Apokayan dalam urusan adat dan keluarga, pada waktu waktu tertentu, mereka juga tak melupakan asal usul mereka yaitu daerah pertama yang disebut desa orang-orang Lundaye dan desa desa asal usul pertama di pedalaman perbatasan Bulungan Serawak.
Dasar utama mereka meninggalkan Apokayan adalah berkaitan pada masalah ekonomi. Karena lahan di Apokayan kian sempit terjadilah perpindahan mereka ke berbagai daerah di samping menghindari persaingan dan perebutan sesuatu wilayah subur yang bisa terjadi antara anak suku (Uma ) Kenyah.  Perginya penduduk ke daerah daerah subur yang ditemukan atau diberitakan oleh keluarga dan kerabat yang telah lebih dahulu pergi membuat Apokayan bertambah sepi.
Dalam upaya mengembalikan kehidupan Apokayan untuk menjadi sentral seni budaya dan adat Suku Kenyah, serta mengupayakan agar orang-orang Kenyah yang tadinya pergi bisa kembali ke Apokayan dan membangun Apokayan sebagai pusat keberadaan Suku Kenyah, pada tahun 1994 lalu di Apokayan  dilaksanakan pertemuan adat seluruh anak suku (Uma ) Kenyah  disertai pesta penen dan pagelaran budaya yang mereka sebut “Bangen Jenai Lale.”
Atau dengan arti Bangen adalah Pesta, Jernai adalah Makanan dan Beras, Lale adalah  Adat. Yang diambil dari kebiasaan sakral Suku Kenyah.
Sejak itulah kebanggaan sebagai Suku Kenyah ditampakkan ke berbagai wilayah. Semua orang yang berasal dari Suku Kenyah memiliki  atau memakai tanda kalau mereka adalah orang orang Dayak Kenyah  yang terbesar dan tersebar di seluruh pelosok Kalimantan..
Apokayan yang termasuk di dalam wilayah Bulungan ini memang tak berkaitan budaya atau darah dengan masyarakat atau bangsawan Bulungan. Orang Dayak Kenyah  tak memiliki raja atau kerajaan, namun mereka memiliki Kepala Suku dan Kepala Adat yang kedudukannya hampir sama dengan seorang raja. Apa kata Kepala Suku atau Kepala Adat, itulah yang  menjadi putusan hukum bagi masyarakat Kenyah.
Sebenarnya daerah Apokayan ini adalah suatu daerah yang sangat indah dan alami, sehingga banyak turis mancanegara yang bertualang di daerah ini untuk menikmati keindahan alam serta ragam budaya yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Suku Kenyah. Selain itu banyak pula dari kalangan budayawan asing melakukan penelitian  sejarah dan budaya  keberadaan Kenyah yang mereka anggap unik serta langka.  
Keindahan alam Apokayan kini sudah dikenal oleh masyarakat mancanegara. Apalagi Apokayan juga memiliki hutan yang masih utuh penuh dengan flora dan fauna sehingga merupakan asset  jual yang bernilai tinggi.
Keindahan Apokayan adalah salah satu dari seribu keindahan  alam Kabupaten Bulungan, yang membentang dari ujung Apokayan hingga ke sisi pegunungan Kerayan, membujur kea rah Lumbis, Malinau dan Mentarang; Kemudian dari Long Peso memanjang ke Long Pujungan, Sesayap, Sembakung, dan Nunukan, sampai ke pulau Sebatik.
Keadaan ini ketika Kabupaten Bulungan belum terbagi menjadi empat bagian yaitu Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten  Nunukan dan Kota Tarakan. Namun demikian hal tersebut adalah hanya persoalan pembagian administrasi dan untuk kepentingan percepatan pembanguan di wilayah utara Kalimantan Timur.
Walau demikian alamnya  serta seni budaya dan kondisi lingkungan tetap saja sama tak berubah. Keramahan penduduk Suku Kenyah ini sangat membuat siapapun akan terkesan selama hidupnya. Apalagi bagi  kalangan turis mancanegara. Ada diantara mereka yang jatuh cinta dengan Apokayan. Mereka rela tinggal dan mengawini gadis Apokayan yang kebanyakan cantik-cantik alami.
Pada umumnya mereka yang bertualang ke pedalaman dan desa desa di kawasan ini sudah merasa jenuh hidup di tengah tengah kota yang penuh bangunan bangunan beton. Apalagi dengan kebebasan dan cara hidup mereka juga sangat berbeda, walau agama kepercayaan mereka ada yang sama yaitu Kristen Protestan atau Katolik. Di lain itu disini mereka menemukan ketenangan dan kedamaian jiwa terlepas dengan segala tututan hidup yang selalu dalam persaingan.
Sebagai orang Kalimantan apalagi Kalimantan Timur sendiri amatlah rugi jika belum pernah menikmati keindahan dan keramahan masyarakat Apokayan. Penulis yakin jika Anda kesana, Anda pasti jatuh hati  dengan situasi yang sangat mempersona. Terutama pada pemuda-pemuda kekar dan tampan serta gadis gadis semampai yang cantik di samping alam yang begitu indah mempersona. Saya yakin Anda tak akan kecewa .Cobalah jangan disia siakan semasa kesempatan masih ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar