Rabu, 12 Januari 2011

Puan Si Taddung

Lantaran tak mendengar peringatan sang istri, Puan Si Taddung terpaksa kehilangan orang yang dia cintai selama-lamanya.
PADA zaman dahulu kala, di Kampung Tanjung Batu, Tanah Berau, hiduplah seorang pemuda bujangan bernama Puan Si Taddung. Dalam kesehariannya si Puan adalah seorang pemburu. Tetapi walau demikian Puan Si Taddung ini adalah seorang pemuda cerdas dan pintar.
Badannya tinggi dan tegap. Dia dikenal sebagai seorang pemuda pemberani yang memiliki kepandaian bersilat atau ilmu bela diri. Konon, ia pernah mengalahkan sepuluh orang lanun dari laut yang mencoba merampok di perkampungan Tanjung Batu. Selain ada yang tewas, sisanya lari terbirit birit  pergi ke laut. Karena itulah Puan Si Taddung jadi disegani oleh kawan-kawannya.
Suatu hari dia bersama beberapa kawannya pergi berburu memasuki hutan. Biasanya jika dia berhasil, hasil buruannya selalu dibagi-bagikan pada orang sekampung. Kebiasaannya ini membuat warga kampung bertambah suka kepadanya.
Suatu ketika, Taddung dan kawan-kawannya sedang berburu. Sudah beberapa hari mereka berada di dalam hutan, namun keberuntungan kali ini tak berpihak kepadanya. Tak satupun binatang buruan dapat tertangkap oleh mereka. Terpaksalah mereka pulang dengan tangan hampa.
Setelah melakukan persiapan, kembali Puan dan kawan kawannya pergi memasuki hutan untuk berburu. Namun keberangkatan yang sekali ini mencapai sepuluh hari tidak juga dapat menghasilkan barang buruan. “Apakah binatang buruan di hutan ini sudah habis?“ celetuk salah seorang dari mereka. “Tidak mungkin, ini mungkin kita saja yang lagi sial.”  sahut kawannya yang lain. Alhasil perbekalan habis lagi merekapun terpaksa pulang tampa membawa hasil.
Malam harinya Puan Si Tadung duduk di depan pondoknya. Sedang asik melamun, tiba tiba di dekat pondoknya telah ada seseorang tua yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Puan lalu bertanya, “Hendak kemanakah bapak malam-malam begini?“
Orangtua itu lantas tersenyum dan berucap, “Tidak kemana-mana, aku hanya kebetulan lewat. Tetapi aku bolehkah meminta sirihmu? Aku ingin makan sirih.”
Puan lalu memberikan sirihnya sambil mempersilahkan si orangtua naik ke pondoknya. Setelah naik si orangtua dengan senang hati lalu memakan sirih yang disuguhkan kepadanya.
“Begini anak muda, jika engkau hendak berburu janganlah berangkat sore. Tetapi besok pagi-pagi sekali kamu pergi sendirian saja. Ambillah ke arah barat. Percayalah engkau pasti akan mendapatkan buruan yang akan membuat kamu bahagia,“ kata si orangtua tersebut.
Maka pagi-pagi sekali, ketika matahari baru mulai terbit di ufuk timur, Puan Si Taddung berangkat meninggalkan pondoknya seorang diri. Dia pergi menuju arah barat sebagaimana petunjuk orangtua misterus yang singgah di pondoknya. Dia terus berjalan dengan pandangan liar seorang pemburu. Namun sampai lewat tengah hari dia tak juga menemukan seekor rusa sekalipun. Bahkan, hari telah kian bejalan dan mulai memasuki sore.
Akibat kelelahan dan tak habis fikir, Puan lalu duduk di atas sebuah batu sambil merenung. “Wah, kalau tak berhasil lagi, aku akan jadi sangat malu dengan kawan-kawan yang sudah kusuruh menungguku,” gumamnya.
Ketika sedang termenung, lamat-lamat Puan mendengar suara wanita sedang tertawa-tawa dan bersenda-gurau. Dia lantas mencari arah suara tersebut. Dari arah barat terlihatlah olehnya pelangi yang indah menurun ke arah suatu tempat. Diam-diam, Puan pun mendekati arah pelangi dimana ada suara orang bersenda-gurau.
Ternyata setelah diperhatikannya melalui balik rumpun, terlihatlah tujuh orang wanita asyik bermain dan mandi di sebuah kolam yang berair jernih. Dari pembicaraan mereka, tahulah Puan Si Taddung kalau wanita-wanita itu adalah bidadari yang turun dari khayangan.
Diam-diam dia terus mendekati dan memperhatikan ke tujuh wanita tersebut. Akhirnya, Puan Si Taddung mengambil salah satu selendang yang tertumpuk di atas sebuah batu dan menyimpannya.
Ketika hari mulai senja, para bidadari ini bersiap hendak pulang. Tapi satu di antara ke tujuh bidadari tersebut jadi kebingungan karena selendangnya telah hilang. Sedang yang lain terpaksa pulang meninggalkannya karena hari sudah mulai petang. Mereka meminta agar bidadari yang tertinggal menunggu mereka sampai besok hari. Nanti mereka akan membawakan selendang agar si bidadari tersebut bisa pulang bersama mereka.
Bidadari yang tertinggal amatlah merasa takut karena ditinggal seorang diri. Saat itulah kesempatan Puan Si Taddung muncul. Ia mendekati sang bidadari yang tambah ketakutan melihat manusia menghampirinya.
“Janganlah engkau merasa takut wahai wanita peri. Aku tidak akan menyakitimu. Bahkan aku akan melindungi kamu dari berbagai bahaya yang mengancam keselamatanmu,“ ujar Puan Si Taddung meyakinkan si wanita tersebut. Setelah menghantui dengan berbagai cerita yang mengerikan Puan lalu membujuk agar si wanita mau ikut bersamanya ke kampung. Karena takut, akhirnya si bidadari yang mengaku bernama Putri Bungsu itu pun menuruti ajakan Puan Si Taddung.
Setelah sampai di kampung ramailah orang dan teman temannya menyambut kepulangan Si Puan. Mereka amat takjup akan kecantikan wanita bidadari ini. Oleh Puan, si wanita lalu dibawa pulang ke rumah dan setelah sebulan kemudian keduanya lalu dikawinkan oleh Petinggi Kampung Tanjung Batu. Hiduplah keduanya dalam kenikmatan dan kebahagiaan hingga mendapatkan seorang anak laki-laki hasil dari buah perkawinan mereka.
Pada suatu ketika, Puan Si Taddung dipanggil petinggi untuk menghadap di rumah laminnya. Di sini, ketika Puan Si Taddung datang telah berkumpul beberapa Petinggi dari pulau Derwan, Sangalaki, Pulau Panjang dan para petinggi dari pulau-pulau lainnya. Para petinggi ini menyampaikan kalau di daerah mereka saat itu sudah tidak lagi aman. Hal ini karena mereka selalu mendapat serangan dari bajak laut yang berkeliaran. Perampokan pada pulau-pulau hampir terjadi setiap minggu. Ini yang membuat mereka resah dan mencari cara untuk menghadapi para lanun tersebut.
Oleh kesepakatan dan pendapat dari Puan Si Taddung, akhirnya terbentuklah pasukan keamanan untuk mengamankan seluruh pulau dan daerah mereka. Pada setiap pulau diambil sepuluh orang pemuda gagah dan berani menjadi prajurit keamanan. Pada setiap hari pasukan tersebut selalu melakukan patroli di pulau-pulau tersebut.
Sedang pusat komando keamanan terletak di Kampung Tanjung Batu. Akhirnya dengan ketatnya pengawasan keamanan dan berkat keberanian para pemuda yang dipimpin oleh Puan Si Taddung, wilayah mereka pun menjadi aman dan tak lagi mendapat gangguan dari manapun. Dan, setelah keamanan benar-benar sudah terkuasai, maka para Petinggi ini bersepakat untuk menyelenggarakan selamatan dan tulak bala sekampung yang dipusatkan di Tanjung Batu.
Dalam kesempatan itu, baik petinggi petinggi pulau maupun petinggi Tanjung Batu sendiri, meminta agar pada upacara puncak selamatan dan pesta kampung isteri Puan Si Taddung yang katanya bidadari itu mau menarikan tarian bidadari. Hal tersebut disetujui oleh Puan Si Taddung tanpa terlebih dahulu meminta pendapat sang istri.
Begitu pulang, Puan lalu menceritakan semua rencana, termasuk tarian penutup pesta oleh istrinya. Sang istri sangat terkejut mendengar hal tersebut. “Kenapa kanda tidak memberitahukan hal tersebut kepadaku terlebih dahulu? Tarian itu adalah tarian yang tak sembarang boleh ditarikan. Tuhing bila itu dilakukan,” kata isterinya. Ia lantas memohon, agar rencana tersebut jangan sampai dilakukan.
Namun, Puan Si Taddung tak mau malu. Ia terus saja mendesak sang istri untuk melakukan tarian itu dengan alasan sudah terlanjur menyanggupinya permintaan para petinggi.
Sang istri akhirnya putus asa. Bidadari itu lantas bertanya, ”Apakah kanda tidak akan menyesal jika itu kulakukan?
“Apa yang harus disesalkan? Bukankah itu hanyalah sebuah tarian?” sahut Si Taddung   seolah tak mengerti.
”Tapi kanda, itu benar-benar tuhing (terlarang_red) untuk kulakukan. Ingatlah kanda, jangan karena tuhing itu kita langgar, akibatnya akan menyengsarakan kita,” ujar sang istri seolah memberi peringatan.
Sayang, Puan tak mau mengerti. Bahkan dengan nada kesal ia memaksa sang istri untuk melaksanakan permintaan tersebut. “Pokoknya adinda harus menari. Aku juga ingin melihatnya. Apaun resikonya, aku akan menanggung dan tidak akan menyesal,” pungkas si Puan sambil melangkah keluar rumah meninggalkan istirinya. Isterinya hanya terdiam melihat sang suami menjadi kesal.
Akhirnya, tibalah hari yang dinanti-nanti. Kampung menjadi ramai selama tujuh hari tujuh malam. Tepat pada hari ke tujuh, saat hampir memasuki tengah malam, acara penutup pun digelar. Masyarakat bergerombol ingin menyaksikan tarian bidadari yang yang belum pernah mereka lihat.
Setelah memakai serlendang yang selama ini disimpan oleh suaminya, Putri Bungsu mulai memasuki arena tarian. Dia lantas menunduk dan mengangkat sembah. Tiba-tiba entah dari mana, terdengar suara musik kelintangan (gamelan) yang kian lama kian terdengar nyaring. Putri Bungsu pun mulai menari.
Semua penonton amat terpesona melihat tarian tersebut. Terlebih Putri bungsu menari tidak hanya sendiri, tetapi didampingi oleh para penari yang entah dari mana pula datangnya. Kian lama tarian kian asik dan berputar-putar. Tak terasa si Putri Bungsu telah melayang layang bersama enam penari lainnya. Setelah cukup tinggi. Tiba-tiba musik berhenti dan si Bungsu masih terlihat melayang di udara.
Tiba-tiba, si Putri Bungsu berucap, “Suamiku, sesungguhnya aku amat mencintaimu. Apalagi kita juga sudah mempunyai anak. Tetapi karena tuhing yang kukatakan itu telah dilanggar, serta kanda menyatakan tidak akan menyesal, maka inilah akibatnya. Kita harus berpisah. Enam penari yang ada ini adalah saudara-saudaraku yang datang menjemput untuk membawaku pulang ke khayangan. Karena itu janganlah kanda sesali apa yang akan terjadi. Dinda hanya memohon agar jika anak kita hendak meminta susu, maka ambilkanlah air buah bunyut yang banyak terdapat di sekitar rumah kita. Berilah dia air bunyut tersebut sebagai pengganti susuku. Nah, selamat tinggallah kakanda, jagalah anak kita baik-baik.“
Setelah itu kembali terdengar suara musik. Para bidadari pun semangkin lama terbang makin tinggi hingga hilang dari pandangan mata. Seiring itu, tak lagi terdengar suara musik.
Puan Si Taddung menjadi gugup dan kaget. Dia tak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa memanggil-manggil nama siterinya yang sudah lenyap. Puan lalu menangis sejadi-jadinya. Tetapi apapun yang diperbuatnya sudah tak berarti. Yang tinggal hanyalah penyesalan atas  semua kesalahan yang telah dilakukannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar