Rabu, 12 Januari 2011

Tumbal Bengalon

Di Kutai Timur terdapat sebuah gua yang melimpah dengan sarang wallet. Gua ini tepat berada di Gunung Sakerat dan dinamai Lubang Tiga. Untuk menemukan dan memetik sarang itu wajib menyediakan tumbal. Kalau tidak, salah satu anggota keluarga yang bersangkutan akan dijadikan tumbal atau lebih dikenal sebagai ‘Tumbal Bengalon’.
YANG namanya hutan – apalagi disebut rimba belantara – tentu banyak yang berasumsi kalau di sana tak ada penghuninya. Paling tidak, keberadaannya hanyalah tempat orang-orang hutan atau manusia liar. Kenyataannya memang demikian. Yang disebut hutan dan rimba itu jelas tak berpenghuni atau bukan tempat tinggal manusia. Sebagaimana wilayah Kalimantan Timur yang masih begitu luas, walau telah terjadi pembabatan hutan oleh perusahaan-perusahaan kayu. Ya, hingga kini yang namanya hutan itu masih ada dan banyak bisa dijumpai di berbagai daerah Kaltim.
Hutan di Kaltim hingga sekarang masih banyak menyimpan kekayaan alam baik berupa tambang maupun hasil hutan ikutan. Sebut saja rotan, damar, kayu gaharu dan lain-lain, termasuk sarang burung wallet. Yang disebut terakhir ini, sekarang jadi buruan banyak pengusaha karena harganya sangat menggiurkan.
Memang, kini di perkotaan  banyak yang dapat memelihara burung wallet dengan membangun tempat burung burung tersebut bersarang.  Walau demikian, ternyata sarang burung wallet secara alami kualitasnya jauh lebih baik ketimbang sarang yang dihasilkan oleh sarang buatan manusia di perkotaan.
Dari segi kwantitas pun, sarang burung wallet alami jauh lebih besar. Karenanya, cukup banyak pemburu sarang wallet di berbagai tempat. Mereka merambah segala penjuru hutan demi mencari burung ini bersarang. Tak jarang satu goa wallet bisa menimbulkan keributan dan pertikaian antara sesama pencari.
Adalah suatu daerah yang disebut Bengalon. Keberadaannya persis di wilayah Kabupaten Kutai Timur yang beribukota di Sangata. Di daerah Bengalon banyak terdapat lubang atau sarang wallet alami. Namun sarang di daerah ini sebagian sudah ada yang memiliki. Untuk menandai pemiliknya, setiap sarang diberi nama bermacam-macam. Dan, setiap lubang dijaga oleh pemilik untuk mengantisipasi penjarahan para pencuri yang setiap waktu mencari kesempatan.
Kendati demikian, ternyata masih banyak lubang-lubang sarang lainnya yang belum ditemukan masyarakat. Karenanya, mereka terus berusaha melakukan pencarian kemana-mana.
“Sebenarnya ada satu gunung yang memiliki tiga lubang sarang yang saling bertembusan satu sama lainnya. Disini, sarang burungnya sangat banyak. Diperkirakan, dalam sekali petik hasilnya tidak kurang dari ratusan kilo,“ begitu kisah Pak Boyon, seorang penduduk Bengalon, beberapa waktu lalu.
“Hingga kini lubang tersebut tak ada yang menemukannya. Saya saja ketika menemukan lubang sarang tersebut berselang sudah sekitar duapuluh tahun yang lalu,” lanjut Pak Boyon yang kini sudah berusia tujuh puluh tahunan.
Pak Boyon adalah seorang yang ahli dalam mencari lokasi tempat burung wallet bersarang. Karena keahliannya itu pula, dia selalu diminta pemilik sarang wallet lainnya untuk ‘menyawai’ (membaca mantera) pada setiap lubang agar burung-burung tersebut tak berpindah tempat.
Memang, burung-burung wallet ini sangat peka. Mereka, jika terusik atau merasa diganggu, secara tiba-tiba akan menghilang dan berpindah tempat. Nah, agar tak berpindah tempat maka lubang sarang itu diberi mantera menurut kepercayaan dengan disertai pula sesaji yang ditujukan pada para penunggu lubang sarang itu.
Dikatakan Pak Boyon, para penunggu lubang sarang itu terdiri dari orang-orang gaib atau Jin. Karenanya jika tak ‘permisi’ konon burung-burung tersebut bakal dipindahkan oleh para penunggu lubang. Bisa juga para pencari akan disakiti dan diganggu. Bahkan, kabarnya ada yang bisa jadi gila.
Untuk itulah dilakukan  pemberian sesaji sebagai syarat meminta agar burung-burung itu tidak menghilang, serta para pencari lubang tidak disakiti oleh yang disebut sebagai penunggu. Memang sangat menggiurkan, satu kilo sarang putih sekarang bisa berharga sampai duabelas juta rupiah. Sedang sarang hitam serendahnya berharga delapan juta rupiah per kilogram.
Dari penuturan Pak Boyon, Lubang Tiga Sarang Burung itu terletak di pertengahan Gunung Sakerat. Muara salah satu lubang itu terdapat di pinggiran jalan setapak yang menuju puncak Gunung Sakerat. Gunung ini cukup terkenal karena selalu jadi pedoman para pelaut yang mau masuk ke Bontang atau ke Sangkulirang. “Gunung Sakerat merupakan salah satu gunung tertinggi yang kaki pada bagian selatannya mengarah ke pantai laut,” kata Pak Boyon.
Kenapa gunung ini sering dijadikan pedoman oleh para pelaut?
Masih menurut Pak Boyon, di atas puncak gunung itu  terdapat Kulit Kima yang berkilau kalau terpantul matahari ataupun cahaya bulan pada malam harinya. Konon kabarnya keberadaan kulit kima itu adalah perbuatan si Ayus yang melemparkan kima ke atas gunung tersebut. Dipercayai bahwa kima yang dilempar itu kian lama kian membesar sehingga gunung tersebut pada bagian puncaknya bagai terkerat. Karena itu pulalah gunung tersebut dinamai Gunung Sakerat.
Ayus sendiri adalah seorang pelarian bertubuh tinggi besar, berwatak berangasan dan sedikit kurang waras. Tadinya si Ayus ini adalah rakyat dari Kerajaan Muara Pahu yang dipimpin Raja Raden Baroh. Namun karena bersalah telah membunuh anak kesayangan Raden Baroh, maka Ayus menjadi takut dan lari hingga ke pantai.
Karena merasa bersalah, dia jadi kesal atas perbuatannya sendiri. Kekesalan itupun dilampiaskannya dengan mengambil kima besar di pantai dan melemparkannya ke arah gunung hinga menancap di sekitar puncak gunung tersebut.
Ketika Perang Dunia ke II meletus, puncak Gunung Sakerat tersebut dijadikan oleh tentara sekutu sebagai suatu tempat pertahanan udara serta lokasi pengintaian terhadap kapal-kapal perang tentara Jepang. Hingga kini di puncak gunung tersebut – menurut cerita – masih tertinggal beberapa benda milik sekutu dalam bentuk sebuah goa buatan, dua buah meriam, sebuah Jeep Willys dan sebuah jam besar. Yang aneh barang-barang tersebut dengan cara apa bisa berada di puncak gunung itu. Namun banyak perkiraan pada waktu itu mungkin ada badan jalan yang diolah sehingga kendaraan logistik dapat mencapai lokasi pertahanan tersebut.
Kemungkinan ada jalan tersebut bisa saja terjadi pada waktu itu. Namun karena sudah puluhan tahun tak lagi dipergunakan, maka jalan tersebut kembali tertutupi semak belukar sehingga yang tersisa hanya jalan setapak.
Yang agak aneh, dari beberapa orang yang naik ke puncak gunung ini dengan niat menemukan barang-barang peninggalan Sekutu itu, tak pernah berhasil memuaskan keinginannya. Namun, bagi mereka yang tak bermasud mencarinya, malah menemukan lokasi pertahanan itu lengkap dengan barang-barang yang ada. Bahkan, ada yang mengaku pernah menemukan kotak besar yang berisi peluru meriam.
“Itu sama halnya dengan Lubang Tiga Sarang Burung yang ada disana. Kalau dicari bagaimanapun tak ada yang pernah menemukannya. Saya sendiri pernah bersama beberapa orang mencoba mendatangi tempat tersebut, namun juga tak berhasil. Tetapi jika saya sendirian ke sana, dengan mudah saya bertemu Lubang Tiga tersebut. Saya memasuki lubang tersebut hingga tembus ke muara dua lubang lainnya. Namun saya sekeping pun tak berani menyentuh sarang yang benar-benar banyak itu. Hal ini karena saya diberi mimpi untuk tidak menyentuh sarang burung di sana walau selembarpun kalau tak ingin celaka,” kisah Pak Boyon.
Masih menurut Pak Boyon, Lubang Tiga yang ada di sana bisa saja didapat atau diambil sarangnya tetapi dengan satu syarat. Sarang-sarang yang diambil wajib diganti rugi dengan tumbal di kampung Bengalon. Tumbal itu antara lain, menanam tiga kepala kambing putih (Kepala Manusia Bule) dan lima ekor kerbau hutan (Liar).
“Jika tidak dilakukan, jangan pernah berharap lubang tersebut bisa ditemukan dan diambil isinya. Kalau pun ada yang berhasil menemukan dan mengambil isinya, maka dikatakan isi boleh diambil tetapi jiwa salah satu anggota keluarga si penemu menjadi penggantinya. Roh orang yang diambil itu kemudian akan dijadikan penunggu atau penjaga kampung Bengalan atau dengan sebutan lain sebagai ‘Tumbal Bengalon’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar