Itu baru berangkatnya saja, belum lagi kembalinya ke Muara Pahu. Apalagi, Ayus sendiri diketahui hanya berjalan kaki sehingga bisa dibayangkan berapa minggu baru ia tiba. Tapi, sekali lagi, Ayus memang memiliki kesaktian luar biasa, sehingga dalam tempo sehari saja tugas diselesaikannya. Hingga saat ini belum diketahui dari mana ia memperoleh kesaktian yang sangat luar biasa itu.
Walau begitu, ada juga kebiasaan buruknya. Jam tidur Ayus sangat panjang dan tak cukup satu hari. Makannya pun tak cukup satu kawah besar. Jika ia merasa kelaparan dan warga tak menyediakan hidangan untuknya, maka ia pergi ke dalam hutan. Ia cabut puluhan pohon BandingNibung di mana umbut atau akar pohon itu dapat ia makan. atau
Suatu hari Ayus membuat kesalahan. Walau kesalahannya dianggap sepele, tetap saja Raden Baroh marah besar. Tak heran kalau Raden pun berniat membunuh Ayus, tanpa peduli kesaktiannya. Ceritanya berawal ketika suatu hari Raden Baroh berniat membangun istana baru, mengganti istana yang ada dan sudah lapuk dimakan usia. Raden pun berunding dengan para petinggi kerajaan, termasuk sesepuh masyarakat yang akhirnya menyepakati dilakukan gotong royong. Hari baik pembangunan dan pemancangan tiang guru istana akan dilaksanakan seminggu lagi. Ayus yang hadir saat itu malah ikut menawarkan diri melakukan pemancangan tiang guru istana, tapi syaratnya ia harus melakukannya seorang diri. Permintaan Ayus pun disepakati dengan syarat waktu pemancangannya tak boleh lewat tengah hari.
Nah, ketika pemancangan tiba, Ayus ternyata masih tertidur pulas. Tidak ada seorang pun yang berani membangunkan. Waktu berlalu, matahari sudah tepat di atas kepala, Ayus belum juga tiba. Akhirnya, pemacangan tiang guru istana dilakukan. Atas persetujuan Raden Baroh, tiang guru didirikan beramai-ramai disertai upacara adat yang berlaku. Empat puluh jenis bunga ditaburkan dan tiang guru diikat dengan kain kuning serta dihempas dengan mayang pinang berurai, termasuk ditaburi beras dengan tujuh macam warna.
Tiang guru istana selesai didirikan, dan rakyat kerajaan Muara Pahu pun berpesta ria. Berbagai jenis makanan tersedia yang sebelumnya telah dimasak orang sekampung. Tari-tarian para bujang dan dara turut meramaikan suasana pesta, menyambut berdirinya tiang guru atau tiang utama istana. Dan, hari itu juga, semua anak bayi yang berumur satu bulan ke bawah dimandikan dengan air percikkan atau air tawar pendirian tiang guru. Maknanya, orangtua menghendaki agar kelak anaknya menjadi pengabdi kerajaan yang setia. Dalam hukum adat kerajaan Muara Pahu, setiap pembangunan besar terlebih istana tempat tinggal para bangsawan dan raja, harus dilakukan upacara tepung tawar dan pesta meriah selama tujuh hari tujuh malam disertai memotong berbagai hewan ternak seperti ayam, itik, bebek, kambing, sapi hingga kerbau.
Hari ketiga pasca pemancangan, Ayus baru terbangun. Ia bergegas menuju tempat pembangunan istana dengan maksud mendirikan tiang guru sendirian. Namun, saat tiba di lokasi, ia melihat tiang guru telah berdiri tegak. Ayus kecewa bercampur sedih. Sambil duduk di bawah pohon Randu, Ayus terus berfikir dan bertanya-tanya kenapa orang kampung tak sabar menunggu dirinya, dan kenapa pula tidak membangunkan tidurnya?
Di tengah lamunan itu, seorang petinggi kampung datang menghampiri dan berkata. “Kesalahan ini datang dari dirimu sendiri. Saat pemancangan engkau tak kunjung tiba dan beberapa kali warga mencoba membangunkanmu, tapi kau tak kunjung bangun. Karena itu baginda memerintahkan agar tiang guru istana didirikan karena takut lewat pada waktunya. Jika tidak, maka kita semua akan “tuhing” (sial) atau mendapat kesialan,” ujarnya.
Ayus hanya terdiam. Ia tetap duduk termenung memendam rasa kekecewaan dan kekesalan mendalam. Anggapannya, Raden Baroh yang salah karena tak menunggunya bangun dari tidur. Beberapa hari Ayus duduk termenung di bawah pohon Randu, tak mau makan dan minum walau disediakan warga. Hatinya meradang dan merasa terhina karena tak dianggap sebagai abdi raja. Pikiran Ayus pun melayang sambil hati kecilnya berkata : “Jangankan memancang satu batang tiang guru, seratus tiang guru pun aku sanggup memancangnya dalam satu hari saja.”
Merasa amat terhina, Ayus berniat tak tinggal lagi di Muara Pahu. Kalau tidak, ia akan jadi olok-olokan warga. Ayus merasa tak berguna lagi, terlebih orang di sekelilingnya sudah tak peduli padanya. Tekadnya bulat harus pergi, tapi harus meninggalkan kerajaan dengan berbuat sesuatu yang bisa dikenang selamanya.
Apa yang dibuatnya agar warga Muara Pahu ingat selamanya? Berhari-hari ia berfikir, dan banyak ide ‘gila’ yang lahir seperti menguras sungai Mahakam yang tak mungkin dilakukan, atau menghancurkan bangunan pun percuma karena bisa dibangun kembali. Lalu mencabut dan membawa lari tiang guru istana juga tak mungkin karena bisa diganti dengan baru. Kesimpulannya, Ayus harus pergi juga dari Muara Pahu.
Kegalauannya terjawab ketika Ayus sesekali melihat sekelompok anak-anak asyik bermain petak umpet di dekatnya. Di antara anak-anak yang asyik bermain terdapat putra Raden Baroh. Ayus terdiam sesaat dan berfikir, akhirnya dalam hatinya berkata “Ini dia solusinya,” pikir Ayus sambil berdiri dan mendekati anak sang raja.
Ia melampiaskan perasaan marahnya dengan menangkap anak raja, dan membawanya menuju bangunan istana. Lalu Ayus mencabut tiang guru istana dengan menggunakan sebelah tangan. Dan, tanpa ampun lagi, anak Raden Baroh dilemparnya ke dalam bekas lubang tiang pancang yang ia cabut. Setelah sang anak masuk lubang, ia tancapkan lagi tiang guru istana itu. Darah anak sang raja menyembur deras akibat hentakan kayu ulin yang berukuran sangat besar. Anak raja pun tewas.
Warga Muara Pahu yang masih asyik berpesta menjadi geger. Suasana sempat hening sesaat. Sebagian warga berbisik dan mengatakan si Ayus sudah gila dan kehilangan akal. Sesaat kemudian para prajurit kerajaan pun datang mau menangkap Ayus. Tapi, apalah artinya sepuluh prajurit dibanding kesaktian Ayus. Hanya sekali libas, beberapa prajurit langsung terpental berserakan ke mana-mana.
Raden Baroh bergegas menuju bangunan istana baru. Raja menangis sejadi-jadinya sambil melihat jasad sang buah hati yang masih bersimbah darah tertancap tiang guru istana. Warga dari berbagai kampung pun berdatangan untuk menyampaikan rasa belasungkawa. Dan, mereka juga beramai-ramai mencari Ayus yang sudah lari ketakutan menjauhi kerajaan.
Ayus meninggalkan Muara Pahu bukan karena takut pada orang sekampung, tapi ia menyadari perbuatannya telah membunuh anak rajanya sendiri. Ia takut Raden Baroh mengeluarkan sumpah untuk dirinya. Dan, agar tak mendengar sumpah Raja, ia melarikan diri, yang ternyata sesuai keinginnannya untuk pergi meninggalkan Muara Pahu.
Ayus terus berlari siang dan malam. Menuju arah pantai dan bekas jejaknya pun dapat ditemukan hingga saat ini. Ayus berlari hingga ke kampung Bengalon dan ternyata ia tidak diterima oleh warga di sana. Warga Bengalon takut kalau kampung mereka diserang oleh prajurit Raden Baroh, Muara Pahu.
Ayus tambah sedih dan kembali berlari dan menuju arah Sangkulirang. Sebelum meninggalkan Bengalon, ia sempat mengambil sebuah Kijing -- sejenis tiram atau kima berkulit batu -- yang didapatnya pada sebuah sungai. Kijing ukuran cukup besar yang hampir sama dengan gubuk atau pondok yang kerap dibangun di sawah atau ladang, dilemparkannya pada sebuah gunung di pantai kampung Bengalon.
Kijing tersebut menancap pada sisi gunung bagian atas, sehingga gunung tersebut bagai terkerat atau terpotong dan hampir terpisah antara puncak dan bawahnya. Kulit kijing itu berwarna putih mengkilap dan memantulkan cahaya keputih-putihan akibat terkena sinar matahari. Akhirnya gunung tersebut menjadi pedoman berbagai kapal layar menuju daerah Sangkulirang atau Bengalon. Ayus tak pernah terdengar kabarnya sampai sekarang, entah mati atau hidup. Namun, ada isu yang mengatakan bahwa Ayus bersembunyi di daerah sepanjang gunung Meratus. Dan, gunung dengan kulit Kijing menancap tersebut saat ini dikenal dengan sebutan “Gunung Sakerat”. Begitulah ceritanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar