Selasa, 11 Januari 2011

Sekelumit Dari Perang Banjar

Pada tahun 1859 hingga tahun 1863 perang Kerajaan Banjar melawan Belanda berlangsung sengit hingga  berjalan selama empat tahun. Perang Banjar ini dipimpin oleh Pangeran Antasari yang membuat Belanda kalang kabut, karena hampir di seluruh daerah Banjar bergolak melakukan perlawanan.

PIHAK Belanda mengajak melakukan perundingan secara damai, namun hal tersebut ditolak oleh para bangsawan Banjar yang didukung oleh orang orang Dayak Kayan pedalaman yang sekarang menjadi Kalimantan Tengah.
“Waja sampai Kaputing“. Itulah  semboyan orang-orang Banjar dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perang yang berlangsung selama empat tahun ini amat banyak merugikan pihak Belanda. Semua hasil bumi tak bisa dibeli. Walau pasukan Belanda didatangkan dari Jawa dan Makasar.

Perlawanan kaum pribumi terhadap Belanda bukan hanya terjadi di Banjarmasin Kalimantan Selatan, tetapi juga Belanda harus menghadapi  pula orang-orang Melayu dari Kerajaan Pontianak Kalimantan Barat yang memberontak.

Di Pontianak ini seluruh rakyat tak mau melakukan pembayaran pajak dan menyerahkan hasil bumi mereka pada Belanda. Lumbung-Lumbung milik Belanda dihancurkan dan dibakar sampai rata dengan tanah. Disinipun perlawanan terjadi baik di pusat kota kerajaan Pontianak maupun sampai di daerah pemukiman keturunan Cina dari suku “Khe“ yang berdiam di Singkawang maupun Sambas.

Orang-orang keturunan Cina baik di Sambas maupun Singkawang ini amat disegani dan ditakuti pihak Belanda. Rata-rata orang keturunan Cina tersebut selain berani juga pandai berkelahi. Dalam sejarah, hanya Raja Pontianaklah yang tak pernah menyerah dan tunduk kepada kerajaan Belanda hingga sampai pada perang kemerdekaan. Para Bangsawannya memang banyak yang gugur dan ditawan serta diasingkan oleh pihak Belanda. Namun demikian perlawanan tetap saja berjalan dimana-mana.

Begitu pula dengan kerabat bangsawan Banjar. Sekalipun perang dapat diselesaikan dengan menumpas dan menundukkan para pemberontak, tetapi kata-kata menyerah tak pernah terucap dari orang-orang Banjar. “Kalah berperang bukan berarti menyerah,” begitu ucap Pangeran Antasari ketika tertawan oleh pihak Belanda.

Sekalipun laskar Pangeran Antasari sudah  dapat dikalahkan, namun perlawanan tetap saja ada dimana-mana sekalipun secara kecil-kecilan. Pihak Belanda amat jarang dapat bertahan lama di daerah Rantau, Kandangan dan Amuntai. Masalahnya diketiga daerah ini perlawanan terjadi bagai berperang dengan “ hantu “.

Dalam menghadapi perang Banjar ini,  walau Belanda telah didukung oleh pasukan dari Makassar dan Balikpapan. Terpaksa meminta bantuan tambahan yang lebih besar dari Surabaya atau Jawa Timur. Kekuatan pun berlipat ganda dengan persenjataan yang lengkap sehingga dapat menumpas para pejuang Banjar.

Dalam keadaan terjepit Pangeran Ardi, yang berkedudukan di Banjarmasin, Pangeran Singa Menteri, di daerah Rantau, Pangeran Nata, di Amuntai, Pangeran Surya Nata, di Kandangan, Pangeran Permata Sari, di Tanjung Tabalong, keadaan mereka kian lama kian terdesak  atas pendudukan tentara Belanda yang  berkekuatan sangat besar serta mendirikan benteng-benteng penumpasan pada setiap perlawanan. Siapapun yang tertangkap tak ampun langsung dihukum mati.   
Karenanya, untuk menghindari penangkapan ini disamping melemahnya perlawanan terhadap Belanda maka kelima Pangeran ini memutuskan untuk meminta perlindungan pada pihak Kerajaan Kutai di Tenggarong.
Mereka lalu berangkat menuju daerah Kutai dan memasuki sungai Mahakam hingga sampai ke daerah Muara Pahu sebuah kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan Kutai yang dirajai “ Raden Mara  Jelau.” Keturunan dari Raden Baroh.
Namun karena kerajaan Kutai Ing Matadipura sudah tunduk dan mengakui kedaulatan Kerajaan Belanda atas kerajaannya, maka Sultan Aji Muhammad Sulaiman, memerintahkan agar kelima Pangeran Banjar tersebut menghadap ke Tenggarong. Dalam putusan, Pangeran Ardi diserahkan kepada Belanda di Banjarmasin  karena dianggap sebagai biang pemberontakan di samping Pangeran Antasari.

Pangeran Ardi yang diserahkan kepada Belanda, di Banjarmasin akhirnya meninggal dunia di dalam tahanan. Kematian Pangeran Ardi ini menimbulkan cerita simpang siur. Ada yang mengatakan dibunuh dalam tahanan, ada pula yang mengatakan  dibuang keluar Kalimantan.  Tetapi ada pula yang mengatakan Pangeran Ardi meninggal karena sakit. Namun demikian ada pula cerita yang mengatakan kalau Pangeran Ardi ini menghilang  entah kemana. Kalau si Pangeran tewas, tentu ada kuburnya?  Namun hingga sekarang tak jelas dimana makamnya atau keberadaannya.

Ada pula cerita lain yang mengatakan kalau Pangeran Ardi setelah dimasukan ke dalam tahanan ternyata diloloskan oleh seseorang dari pihak militer Belanda yang bersimpati kepada Pangeran Ardi. Dikatakan Pangeran Ardi dilarikan ke daerah kerajaan Serawak dan mendapat perlindungan penuh dari Raja Serawak. Pangeran Ardi berganti nama dan berketurunan hingga anak cucu serta menetap hingga akhir hayatnya di Kerajaan Serawak.

Di lain pihak, Pangeran Nata diberi suaka untuk membantu penjawat Kerajaan di Muara Pahu sedang tiga Pangeran lainnya  menetap di Tenggarong atas jaminan dan perlindungan Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Salah satu dari ketiga Pangeran ini juga beranak cucu di Kerajaan Kutai, salah satu diantaranya menjadi kepercayaan sultan yang memberi gelar kepada keturunan tersebut dengan gelar “Panglima Katoeng“ dengan wilayah kekuasaannya di daerah “ Loa Kulu“. Sayangnya garis keturunan yang mana dari ketiga pangeran tersebut yang menurunkan “Panglima Katoeng.” dimaksud. kepastiannya jadi tak jelas.

Sedang para pengikut kelima Pangeran Banjar diperbolehkan pula tinggal di daerah Kutai yang keturunannya hingga kini menyebar di daerah  Danau Semayang, Muara Muntai, Muara Pahu, Danau Jempang, Danau Melintang, dan Kota Bangun.dengan mata pencarian utama adalah sebagai nelayan dan petani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar