Selasa, 11 Januari 2011

Tewasnya Sumbang Lawing

Setelah mengalahkan kerajaan Mulawarman, wilayah kerajaan Kutai Kartanegara bertambah luas hingga jauh ke daerah-daerah Pedalaman. Di setiap daerah oleh kerajaan Kutai ditempatkan seorang Panglima Sepangan sebagai wakil raja yang berkuasa dalam berbagai hal. Tentu para Panglima ini dibantu pula dengan para senopati dalam melakukan roda pemerintahan di daerah setempat. Sedang raja yang tadinya berada di bawah kekuasaan Mulawarman yang menyerahkan diri tetap berkuasa di daerahnya. Hanya saja segala peraturan yang dijalankan adalah peraturan dari Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Matadipura.
Di seluruh wilayah Mulawarman yang menjadi “taklukan” kerajaan Kutai, keamanannya dijamin oleh pasukan Kutai. Namun demikian kehidupan sehari-hari di daerah tersebut bukanlah seperti jajahan. Mereka bebas berbuat apa saja, sama dengan ketika masih berada di bawah kekuasaan Maharaja Mulawarman. Pajak “taklukan” tak diberlakukan, Kerajaan Kutai hanya mengambil hasil bumi, itupun membeli dari masyarakat. Dengan kata lain tidak melakukan paksa dan rampasan.
Pada waktu itu Kerajaan Kutai dirajai oleh Aji Muhammad Sulaiman yaitu Raja ke 19 yang dinobatkan pada tahun 1850. Pemerintahan berjalan dengan lancar dan masyarakat merasa terjamin kehidupan dan keamanannya.
Tetapi keamanan ini pada suatu ketika jadi terganggu dengan adanya kekacauan dan perampokan terhadap harta benda rakyat di daerah-daerah ulu Mahakam seperti  Long Iram, Melak, Muara Pahu, dan Kota Bangun, oleh segerombolan orang Dayak Hiban dari Serawak  yang dipimpin “ Sumbang Lawing.”  Gerombolan ini berhenti dan bermarkas di  Muara Sungai Belayan, dengan tujuan mencari hari baik untuk melakukan serangan ke ibukota Kerajaan Kutai.
Menurut cerita, Sumbang Lawing ini bertubuh besar dan tinggi serta kebal dengan senjata tajam apapun. Sumbang Lawing jika berkelahi tak pernah berhenti. Datang lima, datang sepuluh, bahkan datang duapuluh, semuanya tewas di tangannya. Menurut cerita senjata “Mendau“-nya saja selebar papan dengan panjang dua meter, sehingga sekali tebas paling sedikit lima orang yang melayang jiwanya.
Sumbang Lawing ini suka pula dengan perempuan. Baik yang masih perawan maupun  sudah bersuami. Wanita mana saja yang dikehendakinya pastilah harus didapatnya. Kalau si suami keberatan, maka tak ayal si suami pastilah menemui ajalnya.                       
Konon kabarnya Sumbang Lawing yang dianggap sakti ini mempunyai tempurung kepala terbuat dari tembaga, serta gigi yang penuh dengan emas. Kalau dia lagi menginang (makan sirih) pinangnya terdiri dari Putting Beliung (Kapak kecil) sedang kapurnya terbuat dari kapur gamping.
Keamanan jadi kacau dan beritanya dilaporkan pada Raja Kutai, Aji Muhamad Sulaiman, yang serta merta mengumpulkan para pembesar istana. Aji Sultan meminta masukan dari para Panglima daerah yang pernah dikacaukan oleh Sumbang Lawing. Semua perbuatan disampaikan secara terinci,
Begitu pula dengan kekebalan dan kesaktian Sumbang Lawing yang hampir tak tertandingi oleh siapapun juga. Namun oleh seorang Pandai  mengatakan kalau Sumbang Lawing itu pematinya hanya ada di mulut bagian langit-langitannya. Kalau di lain jangankan senjata tajam biasa, peluru meriam sekalipun tak akan mampu menembus tubuh Sumbang Lawing. Karenanya percuma saja melawan Sumbang Lawing dengan mengerahkan pasukan sepangan Kerajaan Kutai Kartanegara.
Mendengar ini akirnya dari pada membuang buang waktu dan mengorbankan prajurit, maka dilakukanlah suatu keputusan untuk melawan Sumbang Lawing dengan cara tanpa dengan prajurit yang banyak.
Untuk itu kepada Sultan Aji Muhammad Sulaiman, majulah dua orang abdi dalam bernama  “Ence Hasan“ seorang Guru Silat dan  Awang Temputuq  meminta ijin agar tugas itu diserahkan kepada mereka berdua. Mereka tidak meminta pengawalan prajurit. Yang mereka minta adalah satu buah keris kecil yang sangat beracun bernama “Burit Kang“ dan segendongan kain berwarna warni serta peralatan dagang seperti sisir dan cermin. Keduanya lalu diberi ijin dan dipenuhi segala permintaannya.     
Dengan berperahu mereka memudiki sungai dan sampai ke muara Belayan di mana  gerombolan Sumbang Lawing berada. Oleh Sumbang Lawing yang melihat  kedatangan perahu lalu meminta agar mendekat ke perahunya.
“Siapa Kalian..? dan mau kemana..?!“ tanya Sumbang Lawing.
“Kami adalah pedagang kain yang hendak berjualan ke kampung sana,” jawab Ence Hasan, sambil merapatkan perahunya ke perahu Sumbang Lawing.
Sumbang Lawing lalu membuka bungkusan yang dibawa oleh Awang Temputuq. Satu-satu kain tersebut dibukanya hingga habis berhamburan di atas lantai perahunya. Setelah kain hibis, maka terlihatlah sebuah cermin yang terletak di bawah lipatan. Sumbang Lawing yang seumur hidup tak pernah melihat wajahnya melalui cermin. Jadi terpekik ketika cermin itu diarahkan kemukanya.
Dia kaget melihat ada orang berwajah jelek berada di dalam cermin tersebut. Sumbang Lawing lalu bertanya siapakah yang ada dalam cermin tersebut.? Oleh Ence Hassan, dijawab kalau itu adalah cermin dan yang dilihatnya adalah bayangan dirinya sendiri. Melihat ini dia tidak puas berkali kali dia melihat wajahnya di dalam cermin tersebut.
Ahkirnya Sumbang Lawing tertawa melihat wajahnya yang belum pernah dilihatnya. Setiap kali dia melihat wajahnya di dalam cermin dia tertawa terbahak bahak. Saat itulah kesempatan Ence Hassan menghunjamkan keris kecil bernama Burit Kang itu ke langit langit mulut Sumbang Lawing. Dengan terperanjat dan kesakitan Sumbang Lawing meronta dan melompat lompat hingga akhirnya jatuh ke dalam sungai .
Melihat kesempatan ini dengan cepat Awang Temputuk melompat pula ke dalam sungai sambil membawa mendaunya. Karena racun dari keris tersebut Sumbang Lawing jadi tak berdaya dan kekebalannyapun hilang. Dengan cepat  Awang Temputuq memenggal Kepala Sumbang Lawing yang kemudian dibawanya naik kedaratan.
Sedang Ence Hassan bertarung dengan para pengawal Sumbang Lawing. Namun karena melihat Sumbang Lawing tewas, maka tanpa dikomando anak buah Sumbang Lawing berlarian ke dalam hutan dengan cerai berai.
Dalam pertempuran dengan anak buah  Sumbang Lawing tak satupun ada anak buah Sumbang Lawing yang dibunuh oleh kedua ksatria dari Kutai ini. Masalahnya tujuan mereka hanyalah untuk melumpuhkan dan membunuh pemimpinnya. Karenanya  para gerombolan yang lari tak mereka kejar.
Para tawanan wanita dari berbagai daerah yang dibawa oleh gerombolan Sumbang Lawing lalu dibawa ke perahu oleh Awang Temputuq dan  Ence Hassan untuk dipulangkan ke daerah masing masing.
Kepala Sumbang Lawing dibawa ke Tenggarong dan diserahkan pada Aji Sultan Sulaiman sebagai bukti kalau mereka telah mengalahkan musuh yang telah mengacau negeri Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar